Kamis, 09 Oktober 2008

“No Volveran”, Venezuela dan Indonesia

Farid Gaban

No Volveran adalah film dokumenter, yang sedianya akan diputar pertama kali untuk publik Indonesia pada 28 Maret 2008 pekan ini, bersamaan dengan peluncuran sebuah organisasi bernama Hands off Venezuela (HoV) Indonesia .

Seperti disebut dalam sub-judulnya, film ini berkisah tentang ”revolusi sosialisme” ala Venezuela. Tentu saja ini film propaganda, namun propaganda yang layak ditonton. Dan saya sendiri menyukainya, seperti saya menyukai propaganda Michael Moore dalam Sicko.

Kuliah bagi Mereka yang Resah

Film ini penting bagi publik Indonesia yang resah, dan lebih khusus lagi bagi para wartawan yang mempertanyakan peran mereka di hadapan krisis multidimensional negeri ini.

Bagi mereka yang jenuh dengan propaganda Indonesian Idol dan reality show sejenisnya, infotainment, sinetron ala Bollywood serta film-film Hollywood, film “No Volveran” tidak hanya sebuah selingan. Dia juga bahan renungan penting dalam rangka mencari solusi atas problem kronis dan akut bangsa ini, yang dari hari ke hari makin menghantui kita.

”No Volveran” adalah kuliah politik dalam versinya yang populer. Film dokumenter ini menyajikan pengalaman empiris Venezuela dalam mewujudkan apa yang mereka sebut “Sosialisme Abad ke-21”.

Membuka Persaingan Wacana lebih Sehat

Bagi saya pribadi, kehadiran film ini dan lembaga seperti Hands Off Venezuela mengobati kerinduan akan adanya pengimbang penting dari arus besar neoliberalisme yang hampir tanpa balas, yang antara lain belakangan ini dikampanyekan terbuka oleh Freedom Institute-nya Rizal Mallarangeng.

Diskursus (wacana) politik-ekonomi kita dalam beberapa tahun terakhir terlalu didominasi oleh semangat neoliberalisme dan kapitalisme ekstrem. Propaganda neoliberalisme demikian masif, baik disadari maupun tidak, sehingga dia menjadi wacana tunggal ketika negeri kita sebenarnya sedang membutuhkan benturan ide-ide demi mencari rumusan jalan baru pasca-Reformasi.

No Volveran menunjukkan bahwa neoliberalisme bukan takdir dan keniscayaan. Bukan satu-satunya cara kita hidup. Bukan tanpa alternatif. “Another world is possible”.

Lebih besar dari Chavez

Sebagian film ini berisi sejarah ringkas Venezuela di bawah Hugo Chavez. Sejarah difokuskan terutama pada kudeta 2002, ketika Chavez digulingkan kaum oligarki (militer sayap kanan dan pengusaha besar yang didukung oleh televisi mainstream seperti RCTV dan Globovision), namun naik kembali berkat dukungan rakyat yang luas, terutama rakyat miskin dan marjinal. Kembalinya Chavez menjadi tonggak kemenangan rakyat kebanyakan.

Tekanan utama film ini bukan pada Chavez, namun pada aktivisme rakyat Venezuela sendiri, tentang bagaimana paham sosialisme diterapkan dalam hidup sehari-hari, di kawasan kumuh perkotaan (bario) atau di pabrik-pabrik.

Bagi mereka yang samar-samar mengagumi maupun yang mengutuk Chavez dari Indonesia, film ini menyuguhkan sejumlah kejelasan.

Bagi para pengagumnya, Chavez cenderung disusutkan menjadi sekadar simbol anti-Amerika. Atau sekadar sebagai simbol “pemerintahan yang tegas dan kuat karena dia bekas tentara”. Dengan ini orang sering keliru memahami bahwa, untuk menjadi kuat, pemerintahan harus dipimpin secara militeristik alias diktatorial, sehingga ada pula orang yang keliru melihat munculnya Chavez sebagai obat kerinduan terhadap militerisme Orde Baru.

Revolusi Venezuela, yang kini menyebar ke beberapa negeri Amerika Latin, lebih besar dari sekadar Revolusi Chavez. Dan sosialisme Venezuela adalah sosialisme demokratis. Seperti ditunjukkan oleh film ini, sosialisme itu berbasis pada kesadaran dan partisipasi politik luas masyarakat, dengan sedikit intervensi dari negara.

Artinya, Venezuela bukanlah negeri komunis satu partai seperti China atau Soviet. Dan pada kenyataannya, berlawanan dengan mitos yang luas berkembang, sosialisme tidaklah identik dengan komunisme (Leninisme/Stalinisme/Maoisme) yang cenderung ateistik dan diktatorial.

Alih-alih ateistik, Revolusi Sosialisme Venezuela sebenarnya bergandengan tangan dengan gagasan teologi pembebasan Katolik yang khas Amerika Latin. Teologi ini dipelopori oleh pastor dan intelektual Katolik yang tergugah membuat ajaran agama mereka relevan dengan kubutuhan umatnya: melawan penindasan dan kemiskinan, serta mempromosikan kemandirian dan martabat rakyat agar mereka bisa terlibat dalam proses politik.

Don’t Watch TV, make it

Tinggi atau rendahnya partisipasi politik tak lepas dari peran media, terutama televisi yang kita tahu menyerupai pedang bermata dua. Televisi bisa menjadi perusak, tapi juga bisa menjadi alat pemberdayaan yang efektif.

Revolusi sosial yang damai di Venezuela ditandai pula oleh maraknya media alternatif/komunitas, sebagai penawar dari dampak buruk jurnalisme media-media mainstream, yang disadari atau tidak sering menumpulkan partisipasi politik. Dalam kasus Venezuela, TV-TV swasta mainstream justru telah menunjukkan semangat tidak demokratis dan cenderung berpihak pada elit oligarkis.

Salah satu slogan CatiaTV, sebuah stasiun televisi komunitas Venezuela, berbunyi: “Don’t watch TV, make it”. Dengan itu CatiaTV menyebarkan virus apa yang kita kenal kini sebagai “citizen journalism”—tempat 75% program dibuat dari dan untuk masyarakat sendiri. Dengan ini masyarakat terbebas dari dikte dan daulat rating ketika harus memutuskan mana yang penting dan mana yang tidak bagi hidup kolektif mereka.

Bagi para jurnalis seperti kita, contoh empiris Venezuela membukakan mata kita akan pemberontakan serta kemuakan masyarakat yang makin keras terhadap arogansi dan korupnya lembaga-lembaga pers/penyiaran swasta. Jika tidak berubah sikap, kita akan makin jauh tersesat dan terisolasi dari realitas masyarakat.

Satu hal yang sering tidak kita sadari, meski banyak para wartawan sering berbusa-busa bicara tentang demokrasi dan kebebasan berekspresi, institusi pers (swasta) sendiri makin dipandang sebagai kekuatan diktatorial.

Kapitalisme, yang sering diucapkan senafas dengan demokrasi, tidak selamanya bersifat pro-demokrasi, dan seringkali justru sebaliknya. Dan itu yang membuat sosialisme tetap relevan.

No Volveran menunjukkan bahwa gagasan sosialisme, yang digaungkan makin keras oleh gerakan internasional seperti World Social Forum (WSF), masih tetap hidup dan potensial mengalami kebangkitan kembali. Itu berbeda dengan sinyalemen Francis Fukuyama yang secara prematur mengatakan The End of History—pergumulan sejarah telah usai dengan kemenangan telak kapitalisme dan demokrasi. Pergumulan belum selesai.

Sosialisme di Indonesia

Ada banyak pelajaran penting dan menarik dari film dokumenter ini. Pertanyaannya: layakkah dan bisakah Revolusi Venezuela diterapkan di Indonesia?

Indonesia punya jumlah penduduk 20 kali lipat dari Venezuela dan secara geografis maupun keragaman suku sangat berbeda. Indonesia juga punya sejarah politik yang berbeda, khususnya ketika berhadapan dengan isu sosialisme. Bahkan jika kita memandang sistem ini layak dicoba sekarang, saya kira kita membutuhkan sejumlah penyesuaian dan upaya ekstra keras di kalangan aktivisnya.

Trauma terhadap sejumlah pemberontakan komunis yang berdarah (1927, 1948 dan 1965), serta propaganda efektif kalangan militer/birokrat pro-Barat, telah menumbuhkan paranoia dan fobia berlebihan terhadap paham Marxisme—inspirasi utama gerakan sosialisme yang sebenarnya berbeda secara mendasar dari komunisme.

Ukuran sukses propaganda No Volveran dan aktivisme Hands Off Venezuela, menurut saya, terletak pertama-tama pada apakah di waktu-waktu mendatang sosialisme/Marxisme bisa dibicarakan lebih rileks serta proporsional di Indonesia. Tanpa ketakutan berlebihan,namun juga tanpa kegaguman kelewat batas.

Juga pada apakah bisa propaganda itu menyadarkan umat Islam mayoritas, bahwa sebenarnya sosialisme bukan suatu yang asing dengan Islam, terutama mengingat bahwa gerakan sosial pertama di Indonesia justru dipelopori oleh organisasi bernama Sarekat Islam, yang kelak akan terpecah antara lain menjadi Partai Komunis Indonesia.

Atau apakah mampu propaganda ini membuka mata kembali kalangan nasionalis pada fakta bahwa Marxisme merupakan inspirasi penting di kalangan “founding fathers” kita, termasuk Soekarno dan Hatta, dalam perjuangan mereka merebut kemerdekaan. Apakah kita akan lebih rileks mempelajari karya Karl Marx?

Hatta, Marxisme dan Koperasi

Meski ingin, saya merasa tidak punya ketekunan membaca buku setebal ”Das Kapital”-nya Karl Marx yang edisi Indonesianya kini bisa diperoleh bebas. Dalam kesempitan waktu, saya lebih suka menelusuri jalan pintas mengkaji Marxisme lewat tangan kedua: dari buku-buku yang ditulis Bung Hatta. Di samping menyajikan versi ringkas, buku seperti ”Mohammad Hatta Bicara Marxis” dan berbagai ulasan ekonomi Hatta, menurut saya, menyuguhkan Marxisme secara cukup proporsional.

Hatta memuji kecanggihan Marxisme sebagai metode abstraksi sosial tanpa terjatuh menyembahnya sebagai dogma. Sebagai intelektual dengan pikiran terbuka, Hatta tak hanya membeberkan sejarah Marxisme tapi juga varian, kontradiksi serta keterbatasan-keterbatasannya, yang membuat dia tidak segan pula mengutip pemikir ekonomi “borjuis” sebagai bahan perbandingan.

Ada aspek lain dari pemikiran Hatta yang saya kira relevan dengan perkembangan baru di Venezuela. Sistem sosialisme-demokratis Venezuela berpusat pada pemberdayaan masyarakat, dalam bentuk community-center, dewan masyarakat serta serikat/koperasi buruh. Ini mengingatkan saya pada konsep asli Hatta tentang koperasi, yang sayangnya sudah rusak citranya akibat diperkosa puluhan tahun oleh Orde Baru.

Selama Orde Baru koperasi direduksi menjadi sekadar institusi ekonomi, bahkan menjadi alat penghisapan vertikal. Padahal, dalam konsep asli yang dirumuskan Hatta, koperasi adalah lembaga ekonomi, sosial dan politik sekaligus—yang, seperti di Venezueala sekarang, mengedepankan partisipasi masyarakat. Di samping sebagai satuan lembaga demokratis terkecil, Hatta juga melihat koperasi sebagai lembaga tempat masyarakat menolong dirinya sendiri (self-help) yang di situ pula tercakup watak kemandirian dan martabat, bukan watak pengemis yang lembek.

Perlu diskusi lebih lama untuk memastikan apakah koperasi dalam bentuk aslinya bisa bergandengan tangan dengan konsep serupa di Venezuela. Tapi, yang lebih penting adalah pertanyaan apakah koperasi bisa dibangkitkan dan diremajakan kembali, untuk menjadi salah satu langkah praktis yang penting dalam mewujudkan “Sosialisme Abad ke-21”.

Dan sebelum itu, bagi saya cukuplah jika film dokumenter “No Volveran” bisa mengaduk pikiran dan membuat kita resah untuk berpikir ulang bahwa ada yang salah dalam bangunan bangsa ini serta tergerak untuk membuat langkah nyata memperbaikinya.

Farid Gaban, bekas wartawan Majalah Tempo yang kini bekerja untuk Pena Indonesia (www.pena.co.id)

Seja o primeiro a comentar

Followers

Cianjur Berlawan © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO