Kamis, 09 Oktober 2008

Meninjau Layanan Kesehatan di Kuba

Samsuridjal Djauzi*

INDIKATOR kesehatan di Kuba amatlah baik. Angka kematian bayi di Kuba, misalnya hanya 6,5 per seribu penduduk, sedangkan di Indonesia masih 40 per seribu penduduk. Bandingkan dengan usia harapan hidup Kuba yang mencapai 76 tahun. Indonesia hanya 66 tahun. Bagaimana negara berkembang seperti Kuba dapat mencapai indikator kesehatan yang sebaik itu?

Saya memperoleh kesempatan meninjau layanan kesehatan di Kuba 24-26 Maret 2003. Saat ini, Kuba mempunyai 64.000 orang dokter yang melayani sekitar 12 juta penduduk. Di Indonesia, kita hanya punya sekitar 34.000 dokter, melayani 210 juta penduduk. Setiap dokter keluarga di Kuba melayani sekitar 600 jiwa, dan dokter keluarga ini amat berperan dalam meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Dokter keluarga di dukung layanan rujukan berupa poliklinik yang menyediakan layanan spesialis secara berobat jalan. Jika diperlukan, penderita yang memerlukan layanan lebih lanjut dikirim ke rumah sakit.

POLIKLINIK Corynthia di tengah kota Havana merupakan gedung bertingkat dua. Gedung ini relatif bagus dibandingkan perumahan penduduk. Di sini, tersedia layanan umum, layanan laboratorium dan radiologi (foto rontgen dan ultrasonografi) serta konsultasi dengan berbagai spesialis, seperti penyakit dalam, kebidanan, dan mata.

Tak terlalu banyak pasien di ruang tunggu karena mereka yang datang merupakan kiriman dari dokter keluarganya, kecuali untuk pasien yang sakit mendadak disediakan layanan darurat yang buka 24 jam. Patut diketahui, pada prinsipnya layanan kesehatan di Kuba adalah cuma-cuma, meski jika diperlukan obat yang tak tersedia di sini penderita dapat membeli di apotek di seberang poliklinik ini dengan harga yang amat murah. Dengan demikian, layanan kesehatan di Kuba berhasil menjangkau hampir seluruh penduduk.

Penyakit yang sering ditemukan di poliklinik ini adalah influenza, asma, dan kardiovaskuler. Penyakit TBC jarang ditemukan karena memang menurut statistik Departemen Kesehatan Kuba penyakit TBC tidak lagi termasuk 10 penyakit yang sering dijumpai di Kuba. Amat berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara peringkat ketiga yang mempunyai penderita TBC terbanyak.

Di ruang pertemuan di lantai dua, seorang dokter spesialis mata sedang memberikan kuliah pada sekitar 10 mahasiswa kedokteran. Poliklinik ini ternyata juga digunakan untuk pendidikan.

Berlainan dengan Poliklinik Corynitha, Rumah Sakit Hermanis Almeijeras (RSHA) merupakan rumah sakit yang megah dengan 24 lantai, terletak di tepi pantai di Kota Havana. Rumah sakit ini punya 900 tempat tidur dan merupakan rumah sakit rujukan terlengkap. Di rumah sakit ini juga tersedia layanan untuk orang asing sebanyak 58 tempat tidur.

Penderita yang berobat di rumah sakit ini tidak hanya penduduk Kuba, tetapi juga dari negara-negara lain, terutama negara Amerika Latin. Rumah sakit ini dilengkapi peralatan kedokteran mutakhir dan mampu melaksanakan cangkok ginjal, jantung, sumsum tulang, dan hati. Biaya cangkok organ di rumah sakit ini jauh lebih murah daripada di negara maju.

Menurut Dokter Nelson, Deputi Direktur RSHA, rumah sakit ini melaksanakan layanan tersier dan berupaya memberikan layanan yang bermutu setaraf dengan negara maju, tetapi dengan mempertimbangkan layanan yang terjangkau oleh masyarakat luas.

Dokter spesialis di rumah sakit ini ada 430 orang, umumnya mereka telah mendapat pelatihan di luar negeri. Berbeda dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang digunakan untuk pendidikan mahasiswa kedokteran (S1), di RSHA hanya untuk peserta pendidikan dokter spesialis.

Saya sempat melihat ruang perawatan di lantai 24 yang merupakan ruang perawatan penyakit dalam. Setiap kamar ditempati empat penderita. Kamar perawatan ini dilengkapi kamar mandi, televisi, dan telepon. Di ujung ruangan tersedia ruang makan dan ruang santai bagi pasien yang dapat meninggalkan tempat tidur. Dari ruang makan pemandangan amat indah karena kita dapat memandang ke pantai Kuba dan menikmati pemandangan laut yang biru.

Seperti juga di Poliklink Corythia, pemeliharaan peralatan kedokteran memperoleh perhatian utama. Di sini, tersedia tenaga teknisi yang telah memperoleh pelatihan di negara pembuat alat karena pelatihan tersebut merupakan satu paket pada waktu pembelian alat.

Selain meninjau rumah sakit rujukan, saya juga berkesempatan mengunjungi Institut Pedro Kouri, yang merupakan institut untuk penyakit infeksi di Kuba. Saya merasa gembira dapat berkunjung ke rumah sakit ini karena dapat bertemu dengan Dr Jorga Perez Avila yang pernah berkunjung ke RS Kanker Dharmais pada tahun 2002. Institut ini telah berdiri sejak tahun 1939, didirikan oleh Profesor Kouri untuk penelitian dan pendidikan penyakit infeksi.

Jika kita sekarang menghadapi kembali ancaman penyakit malaria, maka Kuba telah lama dinyatakan bebas malaria. Penyakit demam berdarah juga dapat dikontrol dengan baik sehingga Kuba menjadi salah satu negara yang dijadikan tempat pelatihan dalam hal penanganan penyakit demam berdarah ini. Laboratorium riset negara ini berhasil membuat sendiri reagen untuk mendeteksi demam berdarah. Reagen ini telah digunakan secara luas di Kuba.

Dr Perez menjelaskan sistem pemantauan penyakit infeksi di Kuba. Amat menarik, karena ternyata peran dokter keluarga dalam memantau penyakit infeksi di masyarakat yang dilayani amat penting.
Selain Institut Kouri, di Kuba juga terdapat Pusat Rekayasa Genetik dan Biomolekuler serta Pusat Imunologi Molekuler. Pengembangan bioteknologi di Kuba telah dimulai sejak tahun 1981. Pemerintah Kuba menginvestasikan hampir satu miliar dollar (AS) untuk mengembangkan bioteknologi di Kuba. Strategi pengembangan bioteknologi di Kuba diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat meningkatkan kesehatan masyarakat serta menghasilkan devisa untuk negara. Sekarang di Kuba terdapat 12.000 peneliti, 15 persen di antaranya bergelar doktor.

Pengembangan bioteknologi di Kuba telah berhasil mengembangkan berbagai vaksin dan produk biotek seperti interferon untuk penyakit hepatitis C. Juga streptokinase rekombinan untuk terapi serangan jantung serta beberapa obat yang hasil rekaya biotek yang diperlukan dalam mendukung pengobatan kanker.

Saya seolah tak percaya ketika teman-teman dari KBRI menyampaikan bahwa pendapatan dokter di Kuba sekitar 20-40 dollar (AS) sebulan. Memang pegawai negeri di Kuba mendapat berbagai fasilitas, termasuk subsidi untuk bahan makanan, namun pendapatan tersebut amatlah rendah karena satu liter bensin di Kuba sekitar 9 dollar (AS). Oleh karena itu, jarang sekali dokter mempunyai mobil pribadi. Bahkan, menteri di Kuba menggunakan mobil Fiat 124 yang sudah tua dan tanpa fasilitas pendingin (AC).

Jika teman-teman di Jakarta menanyakan apa yang dapat kita pelajari dari pembangunan kesehatan di Kuba, tentu jawabannya banyak. Namun, yang terpenting, saya rasa adalah masyarakat yang hidup sederhana, mengamalkan gaya hidup sehat, pemerintah yang amat peduli pada kesehatan dan pendidikan, serta para dokter yang mencintai pekerjaannya.

* Samsuridjal Djauzi (Direktur RS Kanker Dharmais)


Sistem pelayanan kesehatan di Kuba bersifat menyeluruh, gratis, dan mudah terjangkau. Sistem mereka lebih menekankan pada upaya pencegahan dan penyebar luasan informasi. Selama beberapa dekade sebelumnya, Cuba sudah mencapai peningkatan angka harapan hidup dan penurunan secara bermakna tingkat kematian ibu dan anak. Pada slide ini, terjadi peningkatan pencapaian imunisasi. Kemajuan yang sama juga ditunjukkan oleh Swedia, Finlandia, dan beberapa bagian dari India. Yang jelas, hampir sebagian waktu pada abad yang lalu digunakan untuk mengembangkan program pencegahan. Kegiatan tersebut memberikan dampak positip di banyak negara.

(Peter G. Bourne, Cuba; Public health in Cuba). http://www.pitt.edu/~super1/lecture/lec9881/001.htm

1 Comentário:

andreas iswinarto mengatakan...

Belajar Dari Rintisan Dokter Che

Sampai hari ini memang Kuba masih menjadi referensi terbaik sistim kesehatan rakyat (pro-rakyat). Bahkan kini berbagai indikator kesehatan di Kuba melampaui Amerika Serikat.

Barangkali artikel George Aditjondro untuk Kongres Nasional I Hukum Kesehatan di Jakarta, 27-29 Mei 2009 KESEHATAN, DEMOKRASI & HAK-HAK EKOSOSBUD: BELAJAR DARI RINTISAN DOKTER ”CHE” berguna untuk bahan diskusi

Selengkapnya
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/05/sisi-lain-che-guevara-dokter-peletak.html

Followers

Cianjur Berlawan © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO