Jumat, 20 Februari 2009

Kriteria Miskin Versi BPS itu Pro-Imperialisme

Wawancara Dika Nusantara (SRMI) dengan Ulfa Ilyas (Berdikari Online)
Kamis, 19 Februari 2009

Berdikari Online, Jakarta: Seperti diketahui, Presiden SBY dalam pidatonya di depan DPR 15 Agustus 2008 mengungkapkan, angka kemiskinan pada Februari turun dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada Maret 2008. Pernyataan presiden Yudhoyono mendapat perlawanan bukan saja oleh para ekonom kritis, tetapi juga organisasi-organisasi pergerakan rakyat yang sehari-hari berhadapan dengan kemiskinan, salah satunya, SRMI. Pada bulan September, SRMI resmi mengajukan gugatan hukum yang ditujukan kepada BPS, karena dituduh telah memanipulasi angka kemiskinan.

Redaksi Berdikari online telah mewancarai Dika Muhammad Nusantara, salah satu pengurus DPN Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) terkait keputusan PN Jakarta Pusat yang telah menolak gugatan hukum SRMI mengenai kriteria miskin BPS. Berikut petikan wawancaranya:

Ulfa Ilyas (BO):
Seperti diketahui dalam Putusan hakim di pengadilan negeri Jakarta pusat tadi siang, bahwa gugatan yang diajukan SRMI di nyatakan di tolak. Bagaimana Pendapat anda atas putusan pengadilan tersebut?

Dika MN (SRMI) :
Menanggapi tentang masalah putusan hakim pengadilan tersebut, maka kami bersama teman-teman tadi sepakat untuk mengajukan gugatan Banding pada majelis Hakim pengadilan negeri Jakarta pusat .

Ulfa Ilyas (BO) :
Apakah anda melihat ada intervensi politik dalam keputusan tersebut?

Dika MN (SRMI) :
sejak awal, kami melihat bahwa pemerintahan SBY mengintervensi proses peradilan ini. pihak hakim tidak berdiri pada posisi yang netral, melainkan cenderung mengakomodir permintaan pihak tergugat. Sebagai misal, jadwal persidangan selalu di tunda dan waktunya selalu molor. Pihak pengadilan ingin membuat kami jenuh dan akhirnya menyerah dalam proses ini, tetapi kawan-kawan tidak sedikitpun merasa mau menyerah, apalagi mundur.

Dan yang kedua, ketika mencoba mengajukan saksi ahli, pihak pengadilan lansung menolaknya. Kemudian, kesempatan kedua bagi permintaan saksi kami juga ditolak. Akan tetapi, pihak pengadilan malah membebaskan pihak tergugat (BPS) untuk mengajukan sebanyak-banyak saksi-saksi mereka, termasuk menghadirkan sejumlah saksi ahli. Kami hanya bisa mengajukan tiga saksi fakta, tetapi pihak BPS tidak pernah dibatasi.

Dalam pembuatan putusan, terlihat bahwa para hakim hanya melihat pada satu persepsi, yaitu versi BPS. Cara pandang yang dipergunakan oleh hakim untuk menilai kriteria kemiskinan BPS juga sangat sempit, hanya versi BPS semata, tidak membuka perspektif perdebatan kemiskinan yang banyak digunakan oleh negara lain, termasuk negara maju.

Ulfa Ilyas (BO) :
Berdasarkan pandangan hakim, BPS dan Tim ahli, bahwa indicator/ kriteria kemiskinan yang mereka gunakan adalah sudah benar, bagaimana dengan tanggapan anda?

Dika MN (SRMI) :
Iya , jelas karena majelis hakim tidak berpihak pada orang-orang miskin keadilan di negeri ini, dan mereka tentu akan menolak gugatan kami. Defenisi kemiskinan yang dipergunakan BPS masih berdasarkan pendekatan kemiskinan konsumsi, padahal pendekatan ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Bank Dunia sendiri sudah mulai memperluas indicator kemiskinan mereka, dengan menambahkan faktor-faktor non konsumsi seperti tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.

14 indikator yang dipergunakan BPS juga benar-benar tidak manusiawi. Sebagai misal, seorang dikategorikan miskin ketika masih menggunakan lantai tanah. Menurut kami, ini kan indicator yang mengada-ngada dan terlampau berlebihan; mana ada sekarang rumah yang menggunakan lantai tanah di perkotaan, dan di pedalaman pun banyak rumah yang berbentuk rumah panggung. Contoh lain misalnya penggunaan kayu bakar; akibat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, banyak rakyat yang beralih menggunakan kayu bakar karena tidak sanggup lagi membeli minyak tanah atau gas. Jadi, jika pemerintah menyebut orang miskin itu karena menggunakan kayu bakar, itukan persepsi yang benar-benar tidak manusiawi.

Jadi dengan contoh kecil itu saja, kami berkesimpulan bahwa pendapat BPS, yang diikuti juga oleh para hakim, sebagai pendapat yang salah, keliru.

Ulfa Ilyas (BO) :
Ada pendapat mengatakan bahwa Kemiskinan adalah produk Sistem Neoliberalisme. Apakah ada indikasi bahwa putusan pengadilan sejalan dengan politik Neoliberal?

Dika MN (SRMI) :
Yah memang sudah pasti seperti itu. Jadi logikanya seperti ini, kalau gugatan kami dimenangkan/ dikabulkan, berarti secara otomatis orang-orang yang selama ini disebut tidak miskin oleh pemerintah mau tidak mau harus diakui sebagai miskin, dan tentu mereka berhak mendapatkan layanan sosial atau jaminan sosial. Bagi pemerintah, makin banyak orang yang disubsidi, tentu saja akan semakin membengkakkan anggaran pemerintah.

Pemerintah harus mengikuti petunjuk neoliberalism untuk menerapkan disiplin fiscal dan anggaran. Ini berarti, anggaran yang berbentuk subsidi kepada rakyat harus dipangkas, kemudian dialirkan kepada kantong-kantong imperialis melalui pembayaran utang.

Selain itu, perlu diketahui bahwa kemiskinan di Indonesia dihasilkan oleh praktik neoliberalisme. Artinya, perlu sebuah manipulasi data kemiskinan agar seolah-olah neoliberalisme benar-benar tidak memiskin rakyat, melainkan sebaliknya.

Ulfa Ilyas (BO) :
Ajang pemilu semakin mendekat. Partai-partai sudah berlomba-lomba melakukan kampanye untuk merebut hati rakyat. Segala macam cara dipergunakan, asalkan keliatan bagus di depan rakyat. Apa ada dugaan anda bahwa keputusan pengadilan berkaitan dengan politik pencitraan SBY?

Dika MN (SRMI) :
Jelas, angka kemiskinan kini dipergunakan oleh pemerintah untuk menjaga dan memperbaiki popularitas politiknya. Dalam kampanye partai Demokrat, partainya SBY, dikatakan bahwa pemerintah sekarang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Ini adalah kampanye bohong, karena apa yang dikatakan, tentu saja, sangat berbeda dengan kenyataan dan fakta di lapangan.

Jadi, meskipun pemerintah tiga kali menurunkan harga BBM, yang berkonsekuensi meluasnya PHK massal, kenaikan harga-harga sembako, kenaikan tariff, dan sebagainya, tetapi pemerintah tetap menyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan. Inikan penjelasan yang tidak masuk akal. Kemudian, meskipun BBM telah diturunkan tiga kali namun harga sembako dan kebutuhan hidup tetap merangkak naik.

Kebijakan menurunkan BBM sebenarnya bukan prestasi SBY, tetapi itu karena memang faktor kejatuhan harga minyak dunia. Dan sebenarnua, di Malaysia, pemerintahnya malah sudah menurunkan harga BBM enam kali. Anehnya, SBY mencoba memanfaatkan isu kemiskinan, dengan mengatakan angka kemiskinan berkurang di masa kekuasaannya, untuk mendapatkan dukungan politik rakyat pada pemilu mendatang. Jelas, gugatan hukum SRMI kepada BPS bertujuan untuk membongkar kebohongan ini.

Ulfa Ilyas (BO) :
Bagaimana harapan anda terhadap Rakyat miskin mengenai Pemilu 2009, agar tidak lagi melahirkan pemerintahan yang memanipulasi kemiskinan?

Dika MN (SRMI) :
Kami sudah berkesimpulan bahwa pemilu bulan April 2009 nanti bukan hanya sekedar memilih atau mendukung parpol atau caleg-caleg, tetapi juga sangat menentukan masa depan bangsa ini; apakah bangsa ini tetap seperti yang masa lalu, yaitu BBM naik, penggusuran dimana-mana, kesehatan mahal, pengobatan mahal; ataukah orang miskin maju untuk merubah keadaan ini menjadi lebih sejahtera dan mendirikan bangsa yang mandiri . SRMI menyerukan kepada masyarakat agar melawan politik uang. Caranya, rakyat harus berani menolak segala bentuk sogokan, bagi-bagi duit oleh para caleg, dan bagi-bagi sembako. selain itu, rakyat juga perlu melihat sepak terjang para caleg dan partainya di parlemen sebelumnya; jika mereka terbukti membiarkan penggusuran, mengesahkan UU yang pro neoliberal dan menghisap rakyat ( UU ketenaga kerjaan, UU migas, UU penanaman modal, dsb), serta kebijakan-kebijakan lain yang merugikan rakyat, maka jangan dipilih.
Selain itu, kami juga menyerukan kepada rakyat agar memilih caleg dan partai yang benar-benar pro rakyat dan anti-neoliberal. Mereka yang menyepakati program kemandirian nasional. sudah saatnya rakyat melihat kepada program para caleg dan partai, serta mempertanyakan bagaimana cara mewujudkannya.

kami beritahukan, bahwa ada ratusan aktifis kerakyatan yang maju pada pemilu ini. mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi-organisasi kerakyatan, seperti serikat buruh, organisasi petani, organisasi miskin kota, dan mahasiswa. Mereka maju dalam arena pemilihan karena berharap mampu melakukan perubahan politik secara mendasar, terutama bagaimana menyingkirkan politik neoliberalisme dan menggantikannya dengan politik kerakyatan; anggaran untuk rakyat, perundangan yang melindungi rakyat, dan sebagainya.

Ulfa Ilyas (BO):
Apa upaya selanjutnya yang akan dilakukan SRMI untuk membongkar manipulasi data Kemiskinan SBY?

Dika MN (SRMI) :
Iya, SRMI barus saja mempraktekkan model gugatan Citizen Lawsuit, dimana kami menggugat kepala negara dan BPS agar meralat kriteria dan jumlah orang miskin. Selanjutnya, kami dan sektor-sektor sosial yang lainnya akan terus mengkampanyekan bahwa angka kemiskinan versi pemerintahan SBY adalah bohong, manipulatif. Kami juga akan terus menggelar aksi protes baik di instansi BPS maupun istana negara. Kita juga akan mengedarkan press release mengenai hal ini. selain itu, melalui rapat-rapat ditingkatan kampong, yang secara regular dilakukan SRMI, kami akan menyampaikan mengenai tipuan angka kemiskinan yang dilakukan SBY.

Pewancara: ULFA ILYAS
Baca Selengkapnya!!

Sabtu, 20 Desember 2008

Kronologis Pengusiran Paksa Petani Suluk Bongkal dengan Membom 700 Rumah Rakyat Menggunakan Napalm

"Ini Perintah Atasan"
(Pernyataan Dir. Reskrim Polda Riau Kombes Pol. Alex Mandalika dilokasi saat hendak melakukan pembakaran rumah masyarakat Dusun Suluk Bongkal, 18 Desember 2008)

Pada tanggal 18 Desember 2008 tepatnya pukul 10.00 WIB pasukan Brimob Polda Riau beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan kepolisian dari Polres Bengkalis yang dipimpin langsung oleh Dir. Reskrim Polda Riau Kombes. Alex Mandalika mendatangi Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran terhadap warga yang berdiam di Dusun tersebut karena dianggap telah melakukan penyerebotan terhadap areal HPHTI PT. Arara Abadi. Pasukan tersebut dilengkapi dengan persenjataan (pentungan dan senjata api) serta water cannon. Kedatangan pasukan tersebut telah diketahui kabarnya oleh warga Dusun sejak sehari sebelumnya sehingga membuat warga Dusun seluruhnya melakukan mobilisasi ke jalan masuk Dusun untuk mempertahankan kampung. Beberapa saat kemudian masyarakat coba untuk melakukan perundingan dengan kepolisian yang dipimpin oleh Kepala Dusun Suluk Bongkal Khalifah Ismail, Ketua RW 03 Rasyidin, Tokoh masyarakat Suluk Bongkal Pongah, Loceng dan beberapa tokoh masyarakat lainnya yang didampingi oleh Ketua Umum Serikat Tani Riau Riza Zuhelmy. Perundingan dilakukan dengan pihak kepolisian yang langsung dipimpin oleh Dir. Reskrim Polda Riau yang didampingi aparat kepolisian lainnya. Awalnya warga menanyakan tentang operasi yang dilakukan dan surat perintah, namun pihak kepolisian hanya menjawab ini perintah atasan. Hal yang sangat aneh operasi yang menggunakan banyak perlengkapan dan dipimpin langsung oleh perwira polri ini tidak ada pemberitahuan resmi sebelumnya, tidak ada surat perintah resmi pelaksanaan penggusuran serta tidak ada keputusan pengadilan untuk melakukan eksekusi ini. Warga meminta kepada pihak kepolisian untuk tidak melakukan tindakan represif karena Dusun tersebut syah merupakan sebuah perkampungan berdasarkan peta administrasi wilayah Dusun Suluk Bongkal yang ditandatangani oleh Bupati Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha (tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63.

Secara historis, catatan yang kami peroleh tentang bahwa dusun Suluk Bongkal termasuk dalam Besluit yang dipetakan sejak Belanda menjalin kerjasama dengan kerajaan Siak, diperkirakan tahun 1940. Sekitar tahun 1959, dibuatlah peta yang mempunyai ketentuan pembagian wilayah memiliki hutan tanah ulayat batin (keabsahan suku Sakai) termasuk didalamnya wilayah Suluk Bongkal. Setelah sekian lama masyarakat Suluk Bongal hidup berdampingan dengan suku-suku lain di dusunnya, sejak diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dimaksud, konflik pun mulai mencuat, dan beberapa masyarakat dusun terpaksa pindah, karena tidak tahan lagi dengan pola kekerasan yang dilakukan oleh 911 selaku pengaman asset perusahaan.

Perlu kami sampaikan bahwa, sah-sah saja PT. Arara Abadi menegaskan kepada publik mereka memiliki Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor 743/Kpts-II/1996 tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 299.975 (DUA RATUS SEMBILAN PULUH SEMBILAN RIBU SEMBILAN RATUS TUJUH PULUH LIMA) HEKTAR DI PROPINSI DAERAH TINGKAT I RIAU KEPADA PT. ARARA ABADI. Perlu kami sampaikan disini pokok-pokok yang tertuang dalam SK tersebut adalah :

Ketetapan pertama point kedua disebutkan:

Luas dan letak definitif areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) ditetapkan oleh Departemen Kehutanan setelah dilaksanakan pengukuran dan penataan batas di lapangan." Persoalannya kemudian adalah, kami belum mendapatkan satu info pun tentang sosialisasi hasil pengukuran dan penataan batas di lapangan, terkait SK tersebut.

Dalam ketetapan kedua yang memuat kewajiban-kewajiban perusahaan diantaranya:
Point kedua Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini. Faktanya kemudian adalah, kami belum pernah mendapati tentang areal batas kerja yang dimaksud, tertuang dalam sebuah surat yang dipublikasikan secara umum untuk diketahui khalayak ramai. Jika penataannya ditegaskan 2 tahun setelah SK ditetapkan, maka tentunya tahun 1998, PT Arara Abdi telah menyelesaikan seluruh proses inclaving terhadap kawasan yang telah dihuni masyarakat jauh sebelum mereka ada.

Dalam ketetapan keempat dimuat:

1.Apabila di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan dari areal kerja Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).
2.Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. ARARA ABADI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, perusahaan juga mempunyai kewajiban yang ditetapkan pada ketentuan III :
Diungkapkan bahwa, perusahaan wajib memperhatikan atau mengambil langkah-langkah secara maksimal untuk menjamin keselamatan umum karyawan dan atau orang lain yang berada dalam areal kerjanya. Bahwa, banjir yang diakibatkan oleh areal perusahaan yang tidak dirawat - ditandai dengan desa yang berada dalam kawasan HPH/TI PT Arara Abadi sering kebanjiran - adalah bukti kelalaian yang dapat mencelakakan orang. Banjir diduga disebabkan karena sedikitnya hutan penyanggah yang disisakan, serta tidak tepatnya perencanaan pembangunan (tidak seimbangnya antara pembangunan hulu dan hilir). Bukan semata-mata karena alamiah, melainkan karena prilaku manusia.

Hal ini sejalan dengan Surat Menteri Kehutanan RI No : 319/MENHUT/V/2007 tertanggal 12 Mei 2007 tentang persetujuan penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi juga menegaskan hal yang sama hal ini merupakan surat balasan dari Surat Gubernur Riau No : 100/P.H. 13.06 tertanggal 8 Maret 2007 tentang Penyelesaian Sengketa Agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi, dan masyarakat meminta pihak kepolisian untuk menahan diri melakukan penggusuran tersebut berkaitan dengan akan dilakukannya gugatan Class Action oleh masyarakat pada Januari 2009 mendatang serta Pak Pongah sempat mau menceritakan sejarah kampung tersebut dari sejak zaman Kerajaan Siak berdiri yang telah mewariskan daerah tersebut kepada Suku Sakai di wilayah tersebut hingga Republik Indonesia berdiri dan sampai saat ini. Namun pihak kepolisian tidak mau untuk berunding dengan dalih masyarakat tidak memiliki surat kepemilikan lahan. Keadaan semakin tegang hal ini dikarenakan perundingan yang tak menemukan solusi dan pihak kepolisian akan melakukan penggusuran secara paksa apabila masyarakat tetap menghadang.

Satu jam kemudian sekitar pukul 11.30 WIB pihak kepolisian berupaya menerobos barisan ibu-ibu dan anak-anak yang berdiri di jalan masuk menuju Dusun Suluk Bongkal (KM 46) yang dari pagi telah berada di lokasi untuk mempertahankan kampung halaman. Sembari itu polisi juga melakukan upaya penahanan Riza Zuhelmy (Ketua Umum Serikat Tani Riau) beserta beberapa perwakilan masyarakat yang mengikuti perundingan. Namun hal ini dengan segera direspon oleh warga sehingga sempat terjadi aksi saling tarik-menarik ketika polisi secara paksa untuk memasukkan Riza Zuhelmy kedalam mobil yang dikendarai kepolisian. Alhasil masyarakat berhasil melakukan penyelamatan terhadap rekannya yang mau ditahan dan kemudian dievakuasi didalam kampung. Situasi sempat mereda dan masyarakat tetap berbaris-bertahan di depan jalan masuk dusun sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan-wajib nasional symbol keteguhan mempertahankan kampung halaman. Aksi saling mendorong pun sempat terjadi, dari lokasi massa terdengar kabar bahwa pihak kepolisian sebagian telah bersiap untuk meninggalkan lokasi, sesaat kemudian kembali sontak dengan kabar pihak kepolisian melakukan penangkapan terhadap 10 warga dan hendak mengepung dusun melalui jalan masuk lain.

Dari jalan PT. Adei P & I yang juga bisa menuju ke dusun telah terlihat rombongan kepolisian dalam jumlah yang cukup banyak (ratusan) dengan mengendarai mobil truck kepolisian dan mobil kepolisian lainnya menutup jalan tersebut sehingga warga panik karena khawatir kampung akan dikepung dan warga tergusur serta seluruh isi kampung diluluh lantahkan. Proses evakuasi pun dilaksanakan terhadap beberapa tokoh masyarakat termasuk juru runding yang diutus oleh masyarakat. Tepat pukul 11.35 WIB ketika proses evakuasi dilakukan bentrokan pun tak terelakkan ketika polisi memaksa warga untuk mundur dengan tindakan represif dan menggunakan persenjataan. Gas air mata pun ditembakkan oleh polisi melalui water cannon kearah warga sehingga membuat kondisi tak terkendali. Kabar yang didapat dari warga, polisi juga mengeluarkan tembakan dari senjata api (menembakkan peluru karet) sedikitnya melukai 2 warga terkena tembakan tersebut. Kemudian pada Pukul 12. 30 WIB polisi berusaha untuk melakukan penangkapan terhadap Ibu-Ibu namun hal ini coba untuk dicegah oleh salah satu pengurus Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau Antony Fitra karena Ibu-Ibu tersebut ada yang sedang dalam keadaan hamil dan ada anak-anak, namun upaya tersebut dihadang oleh pihak kepolisian. Antony Fitra sempat terkena tendangan dari pihak kepolisian sebanyak 2 kali di bagian kaki dan perut kemudian diseret paksa oleh pihak kepolisian beserta Ibu-Ibu. Warga yang ditangkap dimasukkan kedalam mobil kepolisian kemudian pada sekitar pukul 14.00 WIB dibawa ke Mapolsektif Mandau.

Dalam kondisi represif tersebut polisi secara serentak menembakkan gas air mata, peluru karet dari senjata api serta melakukan pemukulan terhadap warga dengan menggunakan pentungan sehingga situasi menjadi tak terkendali dan banyak warga yang terluka, ketika itu warga telah tercerai berai dan mencari tempat penyelamatan menyusuri belukar dan hutan disekitar kampung. Hal ini dikarenakan 2 helikopter terbang disekitar lokasi kemudian menjatuhkan bahan peledak diatas rumah warga satu persatu dan ledakan yang keras terjadi, satu persatu rumah warga terbakar sehingga kondisi semakin tak terkendali. Api pun semakin menjalar sehingga warga bersembunyi dalam posisi berpencar dan sebagian dievakuasi ke dalam kampung. Proses penangkapan pun terus dilakukan, disusul serangan darat oleh Samapta dengan menggunakan senjata api dan kemudian Satuan Polisi Pamong Praja beserta preman bayaran PT. Arara Abadi melakukan penyerangan terhadap masyarakat dengan melakukan pemukulan dan penangkapan terhadap masyarakat. Diakibatkan kondisi yang sangat represif peristiwa ini menelan korban meninggal dunia 1 jiwa (Putri, Umur 2 Tahun) anak dari warga dusun yang juga merupakan anggota Serikat Tani Riau akibat lari ketakutan dan masuk kedalam sumur. Jenazah Putri baru dapat dievakuasi pada malam hari akibat kondisi represif (dilokasi apabila ada warga yang beraktifitas ditangkap oleh kawanan preman, Satpol PP, Polisi dan PAM SWAKARSA). Tak hanya berhenti disitu alat berat pun segera dimobilisasi masuk kedalam kampung untuk membersihkan sisa kebakaran dan meluluh lantahkan seluruh asset yang dimiliki oleh masyarakat dusun termasuk sanggar belajar dan rumah ibadah. Laporan yang terakhir diperoleh dari warga sekitar 200 warga termasuk pengurus KPP STR ditahan di Mapolsektif Mandau, sekitar 200 warga bertahan di dalam kampung dan lebih dari 400 warga yang sampai sekarang masih berada ditengah hutan dalam kondisi berpencar dan belum bisa berkomunikasi termasuk warga sekitar desa tetangga yang ikut bersolidaritas (Desa Melibur, Tasik Serai, Tasik Serai Timur, Mandi Angin). Jumlah akurat kerugian masyarakat belum dapat dipastikan dikarenakan sedang berkonsentrasi untuk mengembalikan situasi menjadi kondusif, sementara sampai saat ini Polisi, Satpol PP, Pam Swakarsa PT. Arara Abadi dan Preman bayaran mengepung dusun dan memata-matai warga yang bersembunyi.

19 Desember 2008 Kepolisian dan Satpol PP menambah ratusan pasukan untuk masuk ke Suluk Bongkal sebanyak 8 Bus dan 8 truck serta alat berat 3 unit dan beberapa ekor anjing pelacak.
Baca Selengkapnya!!

Tanpa Putusan Pengadilan, pemukiman warga digusur dan ratusan rumah warga dibakar

Kamis, 18 Desember 2008

Pekanbaru-Berdikari online (18/12/08). Sudah beratus-ratus tahun masyarakat Suluk Bongkal mendiami wilayahnya. Tiba-tiba, tanpa diduga oleh masyarakat, ribuan orang berpakaian preman yang dibantu polisi menggusur pemukiman mereka. Bukan itu saja, ratusan rumah warga dibakar, tanah pertanian dan alat-alat produksi dimusnakan. Akibat aksi kekerasan ini, 30 orang warga ditangkap, dan seorang diantaranya adalah pengurus KPP-STR, sedangkan seorang warga bernama Fitri (2th) tewas karena ketakutan. Aksi penggusuran ini dipimpin oleh Dir Reskrim Polda Riau, Sdr Alex Mandalika.

Sayangnya, aksi-aksi brutal semacam ini, yang biasanya kita saksikan di TV, ternyata berlansung di dunia nyata, dan disokong oleh apparatus Negara (Polri). Dan anehnya, menurut warga, keputusan penggusuran hari ini tanpa dilengkapi sepucuk putusan pengadilan pun. Tanah yang dipersengkatan, sebenarnya merupakan tanah ulayat, tapi kemudian diklaim oleh PT. Arara Abadi dengan mengantongi SK Menteri Kehutanan, pada tahun 1996.
Baca Selengkapnya!!

Selasa, 16 Desember 2008

Mengenal KPKRM Sebagai Alat Untuk Mendapatkan Hak-Hak Kesehatan Rakyat Miskin

KPKRM atau Komite Penanganan Kesehatan Rakyat Miskin adalah komite kerja dibidang kesehatan yang dibentuk oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia Kab. Cianjur dalam rangka mengorganisasikan masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan dan hambatan-hambatan yang dirasakan selama ini dalam bidang kesehatan, dan melakukan kerja-kerja pendampingan (pembelaan) atas persoalan-persoalan kesehatan yang ada di wilayahnya masing-masing (bisa tingkat Kecamatan – Kelurahaan/Desa – RW – RT ataupun tingkat yang lebih kecil lagi seperti karangtaruna, majelis talim dll) yang bertujuan mencari jalan keluar bagi rakyat miskin untuk memperoleh hak-hak dasar kesehatannya.

Prinsip KPKRM adalah solidaritas, yakni membantu tanpa pamrih, yang kuat membantu yang lemah, yang punya uang membantu yang tidak punya uang. Belajar bersama-sama dan bekerja untuk kesehatan warga.

Tujuan KPKRM adalah sepenuhnya untuk memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi oleh warga, mengawasi dan mengontrol jalannya program pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah dalam bidang kesehatan (Jamkesmas) dan mendorong Pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, RSUD / Puskesmas dan rakyat Cianjur untuk mengupayakan terselenggaranya Jaminan Kesehatan yang Gratis, Adil, Massal dan Berkualitas.

Kerja-kerja KPKRM bisa dimulai dengan melakukan pendataan bagi warga miskin yang belum memiliki kartu Jamkesmas, mendata warga yang memiliki penyakit di tingkat RT/RW, melakukan pendampingan bagi warga yang sedang sakit, membuat pertemuan reguler untuk membahas kesehatan di lingkungannya masing-masing, memperbaiki posyandu dan melaporkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan ke Dinas Kesehatan terkait.

Program Mendesak KPKRM-SRMI
1. Menggratiskan seluruh layanan kesehatan diberbagai jenjangnya, pendanaan untuk penggratisan (beserta poin-poin berikutnya) diperoleh dari penyitaan harta koruptor, penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi pertambangan asing.
2. Menambah dan memeratakan jumlah dan kualitas infrastruktur pelayanan kesehatan dan institusi pendidikannya (fakultas kedokteran, sekolah farmasi, fakultas kesehatan masyarakat, sekolah perawat, dll) di seluruh Indonesia dengan tidak lupa meningkatkan pembangunan kualitas lingkungan hidup- terutama di wilayah yang rentan penyebaran penyakit.
3. Meningkatkan insentif bagi dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, dan sanitarian.
4. Menerapkan sistem dokter keluarga secara utuh di wilayah Indonesia sebagai bagian dari pemassalan pelayanan kesehatan.
5. Mewajibkan penggunaan obat generik bagi seluruh fasilitas kesehatan publik beserta menerapkan hukuman yang berat bagi dokter yang berkolusi dengan apotek dan korporasi farmasi.
6. Membangun industri farmasi nasional yang besar dan mandiri- dalam tahap awal (sampai dapat memanfaatkan sendiri kekayaan tanaman medisinal) penghapusan pajak impor bahan baku dan PPN dapat dilakukan.

Untuk itu Kepada seluruh masyarakat kami serukan :
• Bila ada diantara saudara/ri anda yang mengalami kesulitan pembiayaaan untuk berobat ke rumah sakit segera laporkan kejadian tersebut ke posko kami. No. Pusat Pengaduan 085759572948
• Segera dirikan posko-posko pengaduan untuk terus mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan.
• Laporkan segala bentuk penyelewengan yang terjadi dalam bidang kesehatan ke posko kami.
• Bersatu kita tuntut Layanan Kesehatan Gratis (Bebas Biaya Obat, Rawat inap, Perawatan dan Mobil ambulans).
• Segera bergabung dengan Posko kami.
Baca Selengkapnya!!

Kamis, 27 November 2008

SRMI Butuh Satu Unit Ambulance

Untuk Meningkatkan Layanan Kesehatan Keluarga Miskin

Cianjur | Jurnal Bogor
Minimnya dukungan biaya, tak menyurutkan semangat para aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Kabupaten Cianjur dalam membantu meningkatkan fungsi layanan kesehatan keluarga miskin di Cianjur. Hanya bermodal semangat dan kepedulian yang tinggi dalam membantu melayani kepentingan keluarga miskin, upaya pendampingan terus mereka lakukan.

Dalam menjalankan program membantu meningkatkan layanan kesehatan keluarga miskin di Cianjur, sampai saat ini kami tidak pernah mendapatkan support biaya dari pihak manapun. Untuk memenuhi kebutuhan operasional dan kebutuhan lainnya, kami lebih banyak merogoh saku sendiri, jelas Ketua SRMI Cianjur Herman Sulaeman saat ditemui di kantornya, kemarin.

Dalam melayani Jaminan kesehatan keluarga miskin ini, lanjut Herman, pihaknya tidak mengenal batas waktu dan jarak tempuh. “siang maupun malam, kalau ada keluarga miskin yang meminta bantuan, jam berapapun tetap kami layani. Termasuk keluarga miskin yang tinggal di pelosok, juga kami bantu,” tandas herman.

Dijelaskan pula, keluarga miskin yang dilayani tak hanya terbatas pada keluarga yang memegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dari pemerintah saja. Keluarga miskin yang tidak mengantongi kartu Jamkesmas pun sama mendapatkan layanan prioritas, “bahkan, termasuk yang tidak mengantongi KTP pun juga kami bantu,” katanya.

Diakui Herman, dalam menjalankan programnya membantu meningkatkan layanan kesehatan keluarga miskin, SRMI acap kali dihadapkan pada beberapa kendala. Diantaranya mental petugas rumah sakit setempat yang terkadang suka mempersulit kemudahan-kemudahan yang semestinya di dapat keluarga miskin. “bahkan oknum petugas yang nakal, sering memaksakan pasien keluarga miskin untuk menebus resep saat kami tidak ada di tempat,” ungkapnya.

Kendala lain yang tak kalah seriusnya adalah minimnya infrastruktur mobilisasi. Karena tidak memiliki kendaraan angkutan khusus (ambulance, red) untuk membawa pasien dari lokasi tempat tinggal ke rumah sakit terdekat masih harus menggunakan ojeg atau angkutan umum.

“idealnya, untuk mendukung program ini, kami harus memiliki paling tidak satu buah ambulance, dengan begitu, layanan juga akan jauh lebih optimal dan tidak memakan banyak waktu,” tuturnya, setengah berharap.

Sampai saat ini, tercatat sudah lebih dari 50 keluarga miskin yang mendapatkan bantuan layanan khusus dari SRMI. Mereka yang dibantu tidak hanya sebatas penderita penyakit biasa. Akan tetapi, juga penyakit tertentu yang pengobatannya harus melalui proses bedah. “Rumah sakit yang kami akses bukan hanya di Cianjur, melainkan juga Rumah Sakit Hasan Sadikin di Bandung dan sejumlah Rumah Sakit besar di Jakarta. Untuk keperluan pengobatannya, pasien keluarga miskin tidak diminta bayaran sepeserpun,” tambahnya. | Disma M T
Baca Selengkapnya!!

Selasa, 14 Oktober 2008

Hidup Sederhana Gaya Kuba

Haridadi Sudjono (Mantan Dubes RI untuk Kuba (1999-2003)

KUBA atau Republica de Cuba, negara di kawasan Laut Karibia yang lebih kecil dari luas Pulau Jawa ini, memperingati Hari Kemenangan Nasional-nya pada 1 Januari 2008. Tepat 49 tahun yang lalu, hanya didukung 82 pejuang yang dilatih oleh Alberto Bayo (bekas kolonel tentara Spanyol), Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1956 dan Batista kemudian melarikan diri pada 1 Januari 1959.

Saat Batista melarikan diri itulah Fidel Castro dan pendukungnya menduduki Havana dan membentuk pemerintahan baru. Castro menjadi kepala negara dan membangun Republik Kuba menjadi negara sosialis berhaluan sosialis-komunis (Marxis-Leninis) di bawah kepemimpinan partai tunggal; Partai Komunis Kuba. Itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Kemenangan Nasional Kuba yang biasa- nya dilaksanakan dengan sangat sederhana.

Nama Kuba berasal dari bahasa Taino, Cubanacan, yang berarti "tempat yang sentral". Kini negeri itu memiliki 14 provinsi yang membentang sepanjang 1.200 kilometer dan merupakan pulau terbesar ke-16 di dunia. Negara bekas jajahan Spanyol (karena itu bahasa resminya juga bahasa Spanyol) yang dikenal sebagai penghasil gula, kapas, beras, kopi, nikel, bauksit, emas, dan perak ini juga dikenal gigih "melawan" Amerika Serikat (AS) selama Fidel Castro berkuasa.

Kesehatan Dan Pendidikan

Di bawah pemerintahan Castro, pembangunan nasionalnya dititikberatkan pada pemeliharaan kesehatan dan pendidikan. Dua hal yang merupakan kebutuhan mendasar rakyat di negeri itu. Hasilnya, penyediaan dan peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan terus maju sehingga keduanya merupakan fasilitas gratis bagi semua rakyat Kuba (hanya orang asing yang dikenai pembayaran). Namun, rakyat Kuba yang tak dikenai pembayaran mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal.

Biaya hidup di sana serba murah. Sukses pembangunan di dua sektor yang sangat menonjol tersebut membuat negeri kecil ini mendapat "nama besar" di dunia. Banyak penderita sakit dari berbagai negara (bahkan yang dikenal lebih maju) berobat ke Kuba karena teknologi kedokteran dan terutama kualitas dokter serta pelayanannya sangat baik dan maju.

Dengan adanya fasilitas istimewa di bidang kesehatan dan pendidikan ini mengakibatkan kondisi sosial rakyat Kuba terus meningkat. Tahun 2005, penduduk Kuba mencapai 11,4 juta jiwa, dengan PDB 33,92 miliar dollar AS atau rata-rata pendapatan per kapita 3.000 dollar AS. Tingkat kelahiran penduduknya rendah sehingga tak ada masalah kependudukan di negeri itu. Rendahnya tingkat kelahiran ini juga didukung tingginya tingkat aborsi (ke-3 tertinggi di dunia). Tingkat kriminalitas juga sangat rendah. Karena semua orang berstatus pegawai negeri (mulai dari presiden sampai tukang cukur dan pelayan toko), tingkat produktivitasnya rendah.

Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah dan rakyat Kuba memiliki prinsip serba apa adanya. Tidak mau mengada-ada. Mereka makan apa yang ada di negerinya, bukan makanan impor. Kalau punya uang hanya sekian, ya itulah yang dipakai. Tidak perlu ngutang ke luar negeri atau lembaga-lembaga donor internasional yang ujung-ujungnya menjerat leher sendiri. Kuba hanya menerima bantuan yang sebagian besar dalam bentuk hibah dari negara sekutunya (misalnya Rusia).

Karena rakyat dan para pemimpinnya dibiasakan untuk menempuh pola hidup sederhana, praktik KKN tidak menonjol meskipun mungkin ada juga. Kalau Kuba merasa tidak memiliki minyak untuk menopang kegiatan industrinya, negeri itu "menjual" dokternya ke Venezuela dan negara Amerika Latin lainnya untuk ditukar dengan minyak dan kebutuhan hidup lainnya. Kuba juga menghasilkan banyak pelatih olahraga, misalnya untuk tinju dan voli, yang "dijual" ke negara lain, termasuk Indonesia. Honor yang mereka terima sebagian diserahkan kepada kedutaan negaranya sebagai sumbangan wajib bagi negaranya. Kini Kuba "menjual" tenaga ahlinya di lebih dari 100 negara di dunia. Barangkali ini dapat dijadikan salah satu masukan bagi kita di Indonesia.

Dulu di masa pemerintahan Presiden Soekarno, kita juga memiliki prinsip seperti itu yang kita kenal dengan politik berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Karena itu pula, Kuba tak banyak tersentuh oleh hingar-bingarnya arus negatif akibat globalisasi ekonomi yang didominasi kapitalis Barat. Kuba juga tidak mengalami guncangan ketika krisis moneter melanda banyak negara di dunia pada tahun 1997-1998.

Duri Di Mata AS

Meskipun merupakan negara kecil, Kuba tetap dipandang sebagai duri bagi AS, dan duri itu sulit untuk dicabut begitu saja. Hubungan dan kerja sama ekonomi serta politik negeri itu dengan Uni Soviet yang berlangsung sejak Fidel Castro berkuasa membuat AS tidak menyukainya dan berusaha mengisolasi Kuba dengan embargo ekonomi dan melakukan blokade di perairan internasional. Akibat hal itu, setidaknya Kuba telah menderita kerugian sebesar 222 miliar dollar AS.

Sejak Uni Soviet runtuh tahun 1991, Kuba mengalami pukulan ekonomi di dalam negeri yang sangat hebat. Meskipun demikian, negeri kecil ini tak pernah menyerah terhadap segala upaya pengucilan yang dilakukan AS. Menteri Luar Negerinya, Felipe Perez Roque, menuduh AS masih tetap ingin "membungkam" Kuba dan menuding Presiden Bush telah mendorong kekerasan agar terjadi perubahan politik di pulau yang diperintah dengan sistem sosialis-komunis itu. Bush juga dituding oleh Perez Rouqe telah memprovokasi tentara Kuba untuk tidak menekan rakyat yang menghendaki perubahan. Namun, Perez Rouqe menanggapinya dengan menegaskan bahwa "di Kuba tentara adalah penduduk yang berseragam".

Dunia mengenal Castro sebagai pemimpin yang paling lama berkuasa di dunia. Sebagai negara otoriter, di samping hanya ada partai tunggal, juga hanya ada serikat buruh tunggal, yakni Sentral Buruh Kuba (Central de Trabajadores de Cuba-CTC). Fidel Castro, yang oleh rakyatnya dipanggil Comandante, mulai tidak tampil di muka umum sejak Juli 2006. Dalam keadaan tidak dapat menjalankan pemerintahannya, dia diwakili oleh adiknya, Raul Castro, yang menjabat sebagai menteri pertahanan dan pejabat Presiden Dewan Negara setelah resmi menerima penyerahan kekuasaan dari kakaknya tanggal 31 Juli 2006.

Melangkah Ke Depan

Bagaimana Kuba mencoba terus melangkah ke depan ketika partai-partai sosialis-komunis di seluruh dunia runtuh? Seperti dikemukakan oleh Raul Castro, negerinya tertarik untuk memilih jalan sosialis seperti yang dilakukan di Tiongkok. Bukan tidak mungkin kalau di Tiongkok ada istilah "sosialisme khas Tiongkok", ma ka kelak juga akan lahir "sosialisme khas Kuba". Kalau Tiongkok bisa maju, kenapa Kuba tidak? Apalagi, di beberapa negara Amerika Latin sedang terjadi fenomena seperti yang sedang berlangsung di Tiongkok, seperti yang terjadi di Venezuela, Bolivia, Peru, Brasil, dan Argentina.

Meskipun AS tak jemu-jemunya terus berusaha mengisolasi Kuba, terutama melalui sanksi perdagangan, perjuangan penguasa dan rakyat negeri ini terus mendapat angin. Majelis Umum PBB dengan resolusinya yang ke-16 secara mutlak (didukung 184 negara) malah mendesak agar AS mengakhiri embargo perdagangannya yang sudah berusia 45 tahun itu terhadap Kuba. Felipe Perez Roque, seorang insinyur dan menteri yang masih sangat muda usianya, menilai itu sebagai "kemenangan yang sangat indah" bagi negerinya. "Kuba tidak akan pernah menyerah dan akan terus melawan politik AS sampai kapan pun," katanya.***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian Kompas, Sabtu, 05 Januari 2008
Baca Selengkapnya!!

Senin, 13 Oktober 2008

Merebut Kekuasaan Desa

Pengalaman Perlawanan Rakyat Jombang dan Kediri
E. Musyadad

DI KABUPATEN Kediri, pemilihan kepala desa (Pilkades) akan dilaksanakan serentak pada 1 Nopember 2007, di 200-an desa. Hal yang sama berlangsung di sekitar 200-an desa di Jombang, yang telah melakukan pemilihan kepala desa secara serentak pada 22 Juli 2007. Kondisi politik ini telah menjadi perhelatan yang cukup semarak, khususnya di desa-desa. Semua orang di dua kabupaten ini membicarakan tentang Pilkades.

Penyelenggaraan kegiatan politik seperti ini, sangat penting bagi mereka yang hidup di desa. Mereka telah belajar banyak dari pemerintahan desa sebelumnya. Mereka juga mengalami langsung dampak dari kebijakan pemerintah, tidak seperti kebijakan pemerintah pusat yang terasa jauh. Antara aparat pemerintah dan warga, saling kenal satu dengan lainnya. Intinya, relasi kuasa di desa begitu terasa dan terlihat nyata, dan hubungan psikologisnya sangat mewarnai. Sehingga, mereka berkepentingan secara langsung untuk membicarakan dan menentukan nasib perjalanan desanya ke depan.

Di beberapa kelompok, baik di Jombang maupun di Kediri, model perebutan kekuasaan desa ini sangat unik dan bisa menjadi contoh baik dalam upaya perlawanan rakyat. Dulu, kita menganggap politik itu kotor dan ketika kita mau masuk ke arena tersebut, harus berpikir dua kali. Pola pikir anti kekuasaan ini, secara langsung berpengaruh dalam pola pengorganisasian perlawanan rakyat. Mereka sering kita dorong sesuai dengan pikiran kita, dimana menjadi pemain (aktor) politik itu harus hati-hati. Padahal, mereka harus didorong menjadi pemerhati atau pengontrol di lingkungannya. Gagasan membangun alat-alat kekuasaan, memang sudah kita mulai semisal, keinginan kita untuk mendirikan partai. Namun, ide ini kemudian bertabrakan dengan sumber daya kita sendiri yang sangat minim dan belum solid. Sehingga, partai kemudian hanya menjadi isu elit baru dalam kerja-kerja pengorganisasian kita.

Maka, kita harus berpaling lagi kepada kelompok terkecil kita. Membangun kekuatan dari sekup terlemah dan terkecil. Dari pengalaman ini, jika nantinya dapat berkembang dan meluas, saya kira akan menjadi modal kongkrit dalam melakukan perebutan kekuasaan yang lebih besar. Dan pengalaman merebut kekuasaan di sekup terkecil (desa), dalam bulan-bulan ini sangat terasa di Jombang dan Kediri.

Dan bukan kebetulan, jika mereka menjadi aktor politik di desanya. Mereka menyadari bahwa kekuasaan itu harus diduduki oleh kader atau kelompok mereka sendiri. Kalau tidak ada kader kelompok, bagaimana eksistensi kelompok bisa mempengaruhi agenda politik desa? Atau bagaimana bisa masuk dalam Panitia Pemilihan maupun Badan Permusyawaratan Desa?

Keramat, Jombang

Mari saya antar anda ke kelompok muda Balung di Jombang. Di desa ini ada sebuah dusun yang bernama Mojosongo. Di dusun ini, segerombol anak muda berinisiatif membentuk sebuah organisasi yang dinamakan Kelompok Remaja Manunggal Rakyat, disingkat Keramat. Mereka menjalankan diskusi rutin bulanan yang membahas persoalan desa, yang dimata mereka perlu dibenahi. Dalam kesempatan itu, mereka juga mengundang tokoh desa yang sekiranya dapat menyelesaikan persoalan. Kegiatan ini terus mereka lakukan dari bulan ke bulan, dan selalu pindah tempat di desa tersebut. Dalam pertemuan ini, mereka juga mengadakan fundraising kelompok dengan mengelilingkan tabungan bumbung, yang dananya untuk organisasi. Pendanaan juga dilakukan dengan memfasilitasi anggota untuk berjualan solar Irek, membuat lapangan parkir, dan berdagang keliling. Hasilnya disisihkan untuk organisasi Keramat.

Pelan tapi pasti, keberadaan mereka mulai mendapat tempat dalam pikiran warga desa. Apalagi, mereka selalu tampil nyentrik dan unik. Karyanya dianggap kreatif. Misalnya, mempekerjakan pemuda pengangguran untuk membuat undangan dari bahan-bahan rongsokan.

Di sela-sela diskusi itu, selalu muncul keinginan Keramat untuk membangun desanya. Namun, apa daya kekuasaan yang mereka miliki tidak cukup kuat. Hingga akhirnya, muncul momentum Pilkades. Yang pertama mereka bicarakan adalah bagaimana agar kader mereka bisa masuk dalam struktur kekuasaan desa, baik di BPD, Pantia Pilkades, maupun kelak menjadi Kepala Desa. Akhirnya, dalam rapat Keramat, disusunlah beberapa strategi untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam, pemilihan BPD, ada kader dari Keramat, namun oleh pihak “status quo“ digagalkan dengan alasan administrasi tidak lengkap. Tetapi, dalam struktur Panitia Pilkades, dari simpatisan Keramat masuk sebagai anggota panitia.

Perebutan kekuasaan masih diteruskan. Mereka sepakat mencalonkan ketua Keramat untuk maju ke Pemilihan Kepala Desa. Disusunlah agenda kerja dan tim kerja menyambut pemenangan ini. Satu persatu mereka lakukan dari tahap pendaftaran hingga memasang poster dan selebaran di seluruh pojok kampung. Apa mereka bermodal banyak? Tidak sama sekali. Bahkan, ketika harus membuat selebaran, anggota Keramat “bantingan“ uang dan terkumpul tidak lebih dari 200 ribu rupiah. Namun, mereka tidak patah arang. Mereka menyusun strategi baru, membuat kontrak politik dan mencari dukungan tanda tangan sebanyak mungkin untuk mengamankan suara dari Calon lain yang menggunakan politik uang. Dalam kontrak politik yang mereka susun, ada beberapa point yang sangat krusial yakni: menghilangkan BIAYA PUNGLI dalam setiap pengurusan administrasi warga, mengalokasikan DANA KESEJAHTERAAN RAKYAT yang diambil dari tanah ganjaran minimal 1/3 (sepertiga) dari seluruh tanah ganjaran yang diatur dalam Perdes (peraturan desa). Kontrak politik ini dibuat dalam selebaran dan ditempel tempat-tempat strategis desa.

Selain itu, tim kerja dan calon melakukan langkah door to door ke seluruh warga desa dengan membawa naskah kontrak politik dan lembar tanda tangan sebagai dukungan. Mereka punya cara tersendiri untuk merebut dukungan ini. Nama tokoh-tokoh penting dan berpengaruh yang menjadi “selebritis desa“ ditempatkan di urutan awal. Mereka langsung mendukung. Adanya dukungan nama-nama tokoh ini kemudian menjadikan dukungan mereka semakin banyak. Kultur masyarakat desa yang patron, mau tidak mau warga desa mendukung calon dari Keramat.

Dukungan juga didapat dari warung-warung kopi. Warung kopi di Jombang, menjadi budaya masyarakat pinggiran, sehingga tersebar di berbagai sudut desa. Di warung ini mereka mencari orang-orang yang selalu tidak puas terhadap pembangunan desa dan kemudian diajak membangun barisan dalam mendukung calon dari Keramat. Mereka bergerilya tanpa amunisi uang yang cukup tetapi, mereka telah menjadi aktor langsung dalam perebutan politik desa.

Kelompok-kelompok seperti Keramat ini banyak sekali yang ada di Jombang. Antar kelompok ini sebelumnya telah melakukan pertemuan-pertemuan, sehingga komunikasi mereka terus terjadi untuk saling berbagi strategi pengorganisasian kelompok.

Sido Rukun, Kediri

Hal serupa dengan Jombang adalah yang terjadi di Kediri. Kali ini saya antar anda ke kelompok perempuan Sido Rukun di Dusun Dasun Desa Joho Kediri.

Di Dasun, dua tahun lalu berdiri kelompok ibu-ibu yang bernama Paguyuban Perempuan Sido Rukun, yang berkutat pada pengelolaan sumber daya lokal yakni, pisang, ketela, rosella dan hasil bumi lainnya. Mereka membuat hasil olahan dan secara bersama-sama memasarkannya. Disela-sela itu, mereka membuat arisan uang maupun berupa arisan beras yang akhirnya diubah menjadi koperasi ibu-ibu yang anggotanya sekitar 60 orang. Paguyuban ini juga mengelola TPA (Tempat Pendidikan Alquran) sebagi respon tidak adanya pendidikan agama di dudun itu. Anggota paguyuban secara bergiliran menjadi gurunya. Dari serangkaian kegiatan mereka, persoalan yang sering mereka hadapi yakni, tidak adanya dukungan dari pihak pemerintah desa. Yang terjadi malah pemerintah desa sering menghambat kegiatan kelompok Sido Rukun ini.

Di tengah budaya patriarki dan feodal yang hidup di desa, mereka mencoba untuk berbuat sesuatu atas desanya. Dan momentum itu akhirnya datang: Pilkades bulan November 2007 mendatang. Mereka pun ramai membicarakan persoalan ini. Jauh sebelumnya, Paguyuban tidak punya pikiran untuk masuk ke wilayah politik desa, karena melihat pelaku aktor politik desa layaknya orang-orang hebat. Banyak uang dan punya pengalaman politik sebelumnya. Namun, hal ini tidak membuat mereka berhenti berharap untuk membangun desanya.

Srikandi itu kemudian datang. Lastri namanya, ketua paguyuban. Perempuan berusia 29 tahun dengan satu anak ini, menyatakan diri maju dalam bursa pemilihan kepala desa. Anggota paguyuban melihat Lastri sebagai pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Pengalaman mengomandoi paguyuban menjadi referensi anggota untuk mendukung pencalonan diri Lastri.

Akhirnya, dibentuklah tim inti pemenangan di Joho. Mereka memetakan suara yang ada berdasarkan dasa wisma, organisasi terkecil yang selama ini dibentuk negara. Di akhir kerjanya, tim menyimpulkan untuk dusun Dasun saja, suaranya sudah menang sekitar 80 persen. Persoalannya bagaimana dengan tiga dusun lainnya?

Tim inti bergerak ke dusun lain. Kebetulan, sepak terjang Paguyuban Perempuan Sido Rukun sudah banyak didegar, sehingga mereka dengan mudah membangun kontak. Di salah satu dusun, Nongkopait, kegiatan paguyuban ini menginspirasi kelompok ibu-ibu membuat koperasi bahkan, anggotanya lebih banyak. Pertemuan kemudian dirancang untuk membuat kerjasama antar koperasi ini. Ketika membutuhkan referensi pengalaman koperasi, Paguyuban Dasun dengan senang hati membaginya. Relasi ini mau tidak mau menjadi ikatan baik dan kemudian bersatu untuk memenangkan pemilihan Pilkades.

Suara tentang pencalonan Lastri, perempuan desa ini, semakin kuat gaungnya. Terlebih adanya lomba yang diadakan pemerintah kabupaten Kediri tentang “keberhasilan kelompok usaha di desa.“ Dan kebetulan Lastri dan paguyuban perempuannya menang dan menjadi wakil Kediri menuju Provonsi. Suaranya tambah melambung tinggi. Perempuan-perempuan tersebut telah mengubah wajah desa, justru sebelum adanya Pilkades. Mereka sudah berlajan dalam rel kemenangan.

Dan sekali lagi, keberhasilan kelompok-kelompok desa ini tidak hanya berjalan sendiri di Kediri. Mereka telah punya jaringan belajar antar kelompok. Sehingga, banyak kelompok yang melakukan hal yang sama, merebut kekuasaan desa dengan mulai mengorganisir kelompok kecil di desanya. Mereka melakukan aksi dan menyebarluaskan perlawanan rakyat, dari wilayah yang sangat kongkrit.***

E. Musyadad, adalah staf Perkumpulan Alha-Raka Jombang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari simpul Jombang.

Dengan versi sedikit berbeda, artikel ini sebelumnya dimuat di buletin Buletin Elektronik SADAR Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi, Edisi: 54 Tahun III – 2007. Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
Baca Selengkapnya!!

Industrialisasi Nasional dan Cita-cita Kemakmuran

Dominggus Oktavianus

Cukup lama sudah ekonomi nasional berjalan di atas realitas yang mengancam. Indonesia sekedar menjadi pasar, sasaran eksploitasi alam, dan sasaran eksploitasi tenaga kerja murah bagi kemajuan negeri-negeri kapitalis maju. Produktivitas rata-rata masih sangat rendah sementara, konsumtivisme dipaksa menjadi budaya dominan. Pengangguran semakin banyak, kemiskinan bertambah, dan praktek percaloan bukan sekadar budaya di sektor ekonomi tapi, juga melanda sektor politik dan kehidupan sehari-hari masyarakat.

Karenanya, merupakan kebutuhan obyektif untuk memberi penjelasan dari sudut alternatif anti-neoliberal beserta solusinya termasuk, cita-cita alternatif seperti apa yang hendak dituju. Tanpa bermaksud menghadirkan determinisme sempit, ajuan gagasan industrialisasi nasional sebagai jawaban alternatif patut mendapat sambutan. Jawaban ini, tentu saja, menyertakan perubahan pada dimensi sosial lain seperti pada bidang politik, sosial-budaya, birokrasi, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, dll.

Cita-cita industrialisasi nasional adalah menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat, dalam pengertian; kebutuhan barang dan jasa tercukupi, masyarakat punya daya beli, karena penghasilan yang layak disertai produktivitas tinggi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang maju secara adil dan merata. Berdiri sejajar dengan itu, industrialisasi juga bermakna membangun ketahanan ekonomi nasional, sehingga kedaulatan sebagai negara-bangsa nyata terwujud. Gambaran tersebut tidak lantas mengisolir perekonomian nasional sebagaimana kerap dicurigai sebagian kalangan. Kerja sama dengan negeri-negeri lain di seluruh dunia, tentu sangat penting sehingga perlu dipererat. Namun kerja sama tersebut bukan dalam bentuk hubungan yang eksploitatif tapi, hubungan yang setara dan saling memajukan. Bahkan, apabila kedaulatan dan kemajuan berhasil dicapai, akan semakin membuka potensi kita memajukan negeri-negeri terbelakang lain yang saat ini masih senasib.

Cakupan Industrialisasi Nasional

Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini - terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita.

Menjelaskan program industrialisasi nasional secara konkret, baik rangkaian transaksi maupun variabel-variabelnya, bukan perkara sederhana. Sebabnya, transaksi dan variabel industrialisasi merupakan peta jalan, menuju cita-cita industrialisasi nasional yang berhubungan dengan rincian dalam aspek mikro maupun makro ekonomi. Tapi, di sini saya coba mengurai dalam batasan secara umum, dengan berangkat dari apa yang ada, serta menghadirkan apa yang seharusnya sudah ada tapi belum ada, dalam syarat sebagai negeri modern dan berkeadilan sosial. Karenanya, saya akan sangat berterimakasih apabila tulisan ini dapat dikritisi dan atau dilengkapi oleh siapa saja yang berkenan melakukannya.

Terdapat tiga variabel kerja pokok yang saling berhubungan dalam batasan tersebut: pertama, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat melindungi industri yang ada, sehingga tidak semakin hancur karena kalah bersaing di tingkat global, regional, maupun lokal (terhadap industri negeri-negeri yang lebih maju); kedua, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat mengambil-alih atau melakukan proses transfer kepemilikan atas sumber daya produksi vital, energi, teknologi dan ilmu pengetahuan, yang masih dikontrol oleh korporasi asing ke dalam kontrol negara (meski tidak harus berbentuk BUMN, melainkan lewat pengetatan kebijakan ekonomi); ketiga, mengapa dan bagaimana program industrialisasi nasional dapat menciptakan dan mengembangkan sumber daya produksi baru. Pada tahap awal (sumber daya produksi baru tersebut), diciptakan dan dikembangkan menurut kebutuhan memajukan sektor-sektor produksi vital yang masih tertinggal dari segi teknologi dan sistem produksi seperti, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan.

Imperialisme dan Masalah Ketergantungan

Mungkin bagi sebagian pembaca, persoalan imperialisme atau neoliberalisme sebagai bentuk mutakhir imperialisme, sudah sering ditelaah. Namun, pengantar pada dua sub judul berikut sengaja ditampilkan untuk mengerucutkan masalah.

Menilik pada sejarah kehadirannya, seluruh industri termaju di Indonesia saat ini tidak berdiri di atas kebutuhan ekonomi dalam negeri, melainkan atas permintaan dan kebutuhan ekspansi modal asing. Bila dibandingkan, sistem yang berjalan sekarang hanya kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial, yang sempat terinterupsi sejenak di masa revolusi kemerdekaan dan separuh masa pemerintahan nasionalis Soekarno. Latar belakang sebagai negeri yang perekonomiannya bergantung pada asing ini, membawa kerawanan yang sudah diramalkan sedari awal.

Akhir 1960-an sampai dekade 1970-an, industri tambang menjadi primadona dengan sebagian besar hasil eksploitasi dibawa ke luar negeri, baik barang dagangan maupun akumulasi keuntungannya. Pada dekade 1980-an industri manufaktur mulai berkembang, sebagai akibat kebijakan deregulasi pada sektor finansial. Deregulasi sendiri merupakan hasil desakan ekspansi finance capital yang dispekulasikan atau diutangkan di beberapa negeri berkembang—karena akumulasi keuntungan sudah tidak dapat diinvestasikan lagi pada sektor produktif di negeri-negeri asal (kapitalis maju). Peran finance capital ini, selain melahirkan pembangunan jalan raya, pelabuhan, bendungan, infrastruktur lainnya, dan industri manufaktur, juga melahirkan praktek rente besar-besaran. Selain oleh utang luar negeri, praktek rente juga kian disuburkan oleh kredit-kredit yang begitu mudahnya dikeluarkan oleh bank-bank dalam negeri. Utang-utang tersebut, kini menjadi jerat atau dijadikan instrumen untuk mengendalikan kebijakan ekonomi sesuai kehendak korporasi internasional. Selain itu masih harus dibayar oleh negara dengan pemotongan terhadap hak-hak rakyat akan jaminan kesejahteraan.

Modal yang masuk dalam bentuk utang dan spekulasi tadi, baik pada sektor pertambangan, manufaktur maupun yang sekedar berputar di pasar modal, tidak memberi landasan bagi industri yang mandiri, dan tanpa arah strategis yang jelas. Sampai saat ini, Indonesia masih harus membeli bahan baku setengah jadi hasil olah teknologi dari luar. Contohnya, hasil pertambangan bauksit masih harus dikirim ke Jepang untuk dapat diolah menjadi alumunium, dan banyak contoh lainnya. Mesin-mesin juga masih didatangkan dari luar, karena investasi yang masuk tidak berkepentingan memroduksi mother machine (induk mesin/mesin pencetak mesin). Satu-satunya perusahaan di Indonesia yang pernah memiliki induk mesin adalah PT. Texmaco Engeneering, namun tidak berlangsung lama karena bangkrut (dibangkrutkan?). Ketergantungan lainnya adalah terhadap pasar (dengan semboyan: orientasi ekspor), sementara seringkali kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi.

Dalam penetrasi modal demikian, sektor pertanian menjadi sasaran praktek eksploitasi kota terhadap desa. Saat industri manufaktur tumbuh pesat pada dekade 80-an dan 90-an awal, tenaga produktif pertanian sama sekali tidak berkembang. Industri hanya menyentuh sektor pertanian sebagai pasar, sehingga proyek-proyek di pedesaan pun dilakukan semata untuk memuluskan tujuan tersebut. Bila dilihat sekilas, pembangunan infrastruktur jalan raya, bendungan, pengenalan terhadap bibit dan pupuk jenis baru, tampak menguntungkan masyarakat desa. Namun, karena tujuannya bukan untuk memajukan pertanian maka, dampak yang dihasilkan pun merugikan dalam jangka panjang. Misalnya, dampak penggunaan pupuk pada kesuburan tanah, dsb.

Ciri lain industri yang tumbuh saat itu adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Bidang pendidikan menerima ekses lanjutan dengan lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan serta sistem pendidikan yang sama sekali tidak mengembangkan cara berpikir kritis.

Kelemahan dalam perkembangan tenaga produktif (teknologi dan sumber daya manusia), mengakibatkan rendahnya produktivitas serta penghasilan yang diterima buruh. Sebagai contoh, industri manufaktur menengah dan besar, hanya mempekerjakan empat juta tenaga kerja atau sekitar empat persen dari total 91 juta tenaga kerja. Perusahaan yang mempekerjakan 500 buruh ke atas mempekerjakaan sepertiga dari (kurang lebih 30 juta) tenaga kerja, memproduksi 80 persen dari nilai tambah manufaktur. Sementara dua pertiga (60 juta) tenaga kerja berada di perusahaan menengah dan kecil, yang mempekerjakan antara 5 sampai 99 buruh, serta industri rumah tangga yang mempekerjakan 1-4 buruh. Dua kategori yang disebut terakhir ini hanya menghasilkan nilai tambah manufaktur sebesar 5-6 persen. Sedangkan masalah penghasilan, menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 85 persen buruh berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan.

Dampak Dalam Pusaran Neoliberal

Industri yang bergantung seperti dipaparkan tadi, mulai menerima kehancuran saat integrasi ke dalam ekonomi global semakin dalam. Banyak tenaga produktif yang tersia-siakan atau bahkan sengaja dihancurkan. Pabrik-pabrik ditutup, pengangguran meningkat, lahan pertanian produktif diserahkan/dirampas untuk industri yang sama sekali tidak menopang pertanian sementara, sektor jasa (terutama pemasaran) merebak lampaui sektor produksi. Merebaknya industri pemasaran (ritel, mini market, dsb.,) bukan disebabkan oleh meningkatnya produksi dalam negeri, melainkan dampak dibukanya keran impor dalam agenda perdagangan bebas.

Peran negeri-negeri dunia ketiga dalam integrasi tersebut, direduksi sekedar sebagai penyedia buruh murah, bahan mentah (terutama kekayaan hutan dan tambang), serta pasar bagi produk negeri-negeri induk kapitalisme. Dalam kerangka tiga tujuan pokok itu, paket liberalisasi ekonomi dijadikan strategi. Sementara instrumennya adalah negara dan lembaga-lembaga ekonomi internasional (IMF, WB, & WTO).

Industri nasional kian menghadapi persoalan konkret sejak pemerintah menandantagni nota kesepahaman (Letter of Intent) dengan IMF tahun 1998. Butir-butir kesepahaman itu misalnya, liberalisasi ekspor yang berakibat pemenuhan energi dan bahan baku industri semakin sulit. Bila pun sanggup dipenuhi, harus diperoleh dengan harga tinggi sehingga biaya produksi melonjak. Masalah ini, misalnya, tampak pada industri kayu, keramik, pupuk, dll. Dalam hal sumber energi, sebagian besar hasil eksploitasi sumber energi seperti minyak, gas, dan batubara dijual ke luar negeri. Sekitar 90 persen dari total produksi gas nasional di ekspor ke luar negeri, sementara batubara mencapai 70 persen. Industri nasional juga menghadapi persoalan liberalisasi impor yang berdampak pada kalahnya produk dalam negeri dibanding produk impor yang lebih murah dan berkualitas. Persoalan lainnya adalah liberalisasi investasi yang mengakibatkan modal dapat berpindah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kebutuhan pembangunan jangka panjang.

Pemerintah Indonesia berharap liberalisasi akan membawa modal masuk dan ditanamkan pada sektor riil. Lebih jauh lagi, mereka berharap investasi asing yang masuk akan membawa teknologi sehingga daya saing di pasar global meningkat. Sama seperti ketika proses deregulasi tahun 1980-an yang menghasilkan sejumlah kemajuan (tapi semu) pada industri manufaktur. Karena alasan ini pula, pemerintahan sekarang mempertahankan politik upah murah sebagai daya tarik, yang dipermanis dengan kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility).

Namun harapan itu tidak terwujud karena, kecenderungan global akumulasi modal bukan dilakukan melalui investasi produksi tapi, melalui spekulasi saham yang jumlahnya ratusan persen lebih besar dari nilai aset riil. Selain itu, lebih dari 80 persen modal sebenarnya tetap terkonsentrasi di negeri-negeri maju. Kalaupun modal tersebut keluar, maka negeri-negeri seperti Cina, India, dan Vietnam yang baru membuka perekonomiannya lebih menjadi pilihan. Negeri-negeri ini juga menyediakan pasar tenaga kerja yang murah, dan ditunjang oleh infrastruktur yang lebih memadai.

Langkah-langkah Industrialisasi

Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:

1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus dihentikan atau dibatasi.

2. Sebagai antisipasi jangka panjang, dibutuhkan kajian-kajian strategis terhadap sumber energi alternatif dengan dampak negatif seminim mungkin terhadap lingkungan hidup.

3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.

4. Kebijakan strategi industri dengan sektor swasta harus menghasilkan pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan baku setengah jadi. Termasuk di dalamnya, membangun industri induk mesin, industri kimia, industri baja olahan, alumunium, dan lain sebagainya. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negeri yang memiliki teknologi lebih maju, atau ‘mengadopsi’ teknologi yang dipelajari dari luar negeri (Jerman, Jepang, Rusia, Cina, dll).

5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.

6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.

7. Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara: a) mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian; b) mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya; c) mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran; d) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi. Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru.

8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya; hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dsb-dst.

9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar.

Program Pembiayaan Industrialisasi Nasional

Sudah tentu, program industrialisasi akan berhadapan pada masalah modal. Masalah ini juga merupakan kunci politik bagi berjalannya program industrialisasi, karena sarat dengan muatan kepentingan kelas elit yang selama ini mengambil untung dari masing-masing masalah. Sejauh mana strategi industrialisasi mampu dijalankan akan ditentukan oleh kemampuan pembiayaan, dukungan sumber daya manusia, serta mobilisasi politik dan pengembangan budaya produktif sebagai aspek non ekonomis terpenting.

Setidaknya terdapat lima masalah besar sehubungan dengan sumber pembiayaan yang mesti diatasi, yaitu: utang luar negeri, pengolahan sumber daya alam, dana obligasi perbankan, persoalan korupsi, serta sistem kredit perbankan. Masalah-masalah tersebut harus disusun menjadi program-program sebagai berikut: Pertama, mengatasi masalah utang luar negeri yang total jumlahnya mencapai seribu enam ratus triliun rupiah. Anggaran negara setiap tahun untuk membayar utang, seperti yang diketahui bersama, mencapai separuh dari total anggaran pembiayaan. Jumlah utang yang sangat besar tersebut, tidak lain merupakan hasil praktek rente bisnis perbankan internasional. Program kita adalah mengambil sikap tegas dengan menolak pembayaran utang. Atau pada tingkat yang paling konservatif, menuntut moratorium tanpa bunga selama jangka waktu tertentu (misalnya; lima belas sampai dua puluh tahun).

Kedua, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam harus dipastikan pengawasan dan kontrolnya oleh negara. Langkah nasionalisasi atas industri pertambangan adalah salah satu opsi meningkatkan penghasilan negara. Bentuk lain yang merupakan capaian kompromi adalah memperbaharui kontrak karya dengan korporasi-korporasi pertambangan, yang notabene mayoritas berasal dari luar negeri. Bila ditelusuri jumlah keuntungan yang dikeruk melalui berbagai industri tambang, sudah lebih dari cukup untuk membiayai program pendidikan dan kesehatan. Contohnya, Exxon-Mobill Oil, Ltd. yang setiap tahun mampu membawa pulang puluhan miliar US dollar, hanya dari satu blok di Cepu. Atau PT. Newmont di NTB yang menurut laporan resmi, membawa pulang 9,1 triliun rupiah setiap tahun.

Ketiga, dana obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan bank-bank swasta. Dana ini telah dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha yang terjerat kredit macet untuk menalangi utang mereka. Negara dibebani uang puluhan triliun rupiah setiap tahun untuk membayar bunga obligasi.

Keempat, kebocoran anggaran negara yang sangat besar harus diatasi dengan cara yang efektif. Kuncinya adalah tidak menggunakan perangkat birokrasi untuk mengatasi korupsi di jajaran birokrasi. Lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dibangun sampai ke tingkat lokal, disertai mekanisme transaparansi dan pertanggungjawaban kepada rakyat.

Kelima, sistem perbankan saat ini lebih memprioritaskan pinjaman kepada sektor konsumsi. Kredit yang diberikan kepada industri menengah dan kecil sangat minim, terutama di sektor-sektor yang masih tertinggal. Perubahan kebijakan dapat dimulai dengan jaminan yang lebih besar oleh negara untuk pengucuran kredit mikro oleh perbankan.***

Dominggus Oktavianus, Ketua Pengurus Pusat FNPBI, dan Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS
Baca Selengkapnya!!

The Revolution Will Not Be Televised

Roysepta Abimanyu

The revolution will not be right back after a message
about a white tornado, white lightning, or white people.
You will not have to worry about a dove in your
bedroom, a tiger in your tank, or the giant in your toilet bowl.
The revolution will not go better with Coke.
The revolution will not fight the germs that may cause bad breath.
The revolution will put you in the driver's seat.

The revolution will not be televised, will not be televised,
will not be televised, will not be televised.
The revolution will be no re-run brothers;
The revolution will be live.

(The Revolution Will Not Be Televised, Gil Scott-Heron)

Penyair, musisi, dan rapper Gil Scott-Heron berada dalam gelombang gerakan Black Power ketika menulis lirik lagu di atas. Saat itu, akses informasi melalui televisi begitu terbatas untuk kelompok-kelompok perlawanan terhadap Pemerintah AS. Scott-Heron seperti menyerukan, "Persetan dengan televisi, Buat Revolusi Jalanan."

Puluhan tahun setelah lagu tersebut pertama kali dinyanyikan, muncul film yang berjudul sama. Ceritanya mengenai bagaimana stasiun-stasiun televisi memanipulasi berita demi mendukung kelompok-kelompok yang sempat menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez Frias. Judul tersebut memang terasa pas, apalagi ketika peristiwa aksi massa yang menuntut Chavez dikembalikan ke Istana Presiden Miraflores dan kehadiran kembali Chavez tersebut tidak diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi yang mendukung kudeta. Malahan, RCTV (Radio Caracas Television), stasiun televisi swasta terbesar dan tertua di sana, memilih menayangkan film animasi, telenovela dan film-film lama seperti "Pretty Woman".1

Scott-Heron mungkin saat itu tidak menduga bahwa Televisi kemudian menjadi sebuah wilayah perebutan politik yang penting. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, jumlah pemirsa televisi melampaui ratusan kali jumlah pembaca berita tercetak (koran, majalah, internet, dan seterusnya). Televisi bahkan jauh lebih terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Di Venezuela, protes para pendukung RCTV yang cukup besar melalui demonstrasi-demonstrasi kelas menengah (diwarnai oleh mahasiswa) menunjukkan, kesulitan mereka melepaskan diri dari siaran-siaran RCTV dibandingkan pertautan ideologis mereka terhadap kebebasan pers. Di titik inilah, nampaknya tepat slogan yang disampaikan oleh Blanca Eekhout, "Don't watch television, make it!". Eekhout adalah direktur stasiun Vive TV milik pemerintah yang berdiri tahun 2004 dan isi siarannya seputar tema-tema kebudayaan.

Berebut Televisi, Pertarungan Kekuasaan

Tak seperti media cetak dan internet, media televisi dan radio memiliki sebuah perbedaan khusus. Keduanya dibatasi oleh pembagian (alokasi) frekuensi. Kemenangan dalam pertarungan memperebutkan kendali media televisi dan radio menjadi mirip dengan perebutan wilayah, dengan pihak yang kalah kehilangan atau berkurang ruang kekuasaannya. Dan hal ini sudah berlangsung cukup lama untuk kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Di media cetak dan internet, mereka lebih mudah membangun corong baru. Koran dibredel, bisa dibangun koran bawah tanah atau berpropaganda di internet.

Namun, pada pertarungan memperebutkan frekuensi penayangan televisi dan radio, kelompok-kelompok dari kelas-kelas tertindas harus menggunakan kekuatan fisik mereka, bahkan kadang dengan ekstrem mengandalkan pertunjukkan kekerasan fisik untuk mendapatkan porsi yang cukup agar suara mereka terdengar. Kita tentunya masih ingat, peristiwa demi peristiwa penggunaan kekerasan oleh aksi massa dalam melawan blokade aparatus rejim Soeharto, yang membuat pimpinan-pimpinan media massa tak mampu lagi melakukan self-censorship. Akibatnya, imaji kedigdayaan militer dan Soeharto runtuh dalam efek domino yang berakhir dengan Soeharto dipaksa mundur oleh orang-orang yang dua bulan sebelumnya mengelu-elukannya dan memilihnya kembali pada Sidang Umum MPR Maret 1998. Ada pula aksi-aksi massa yang berujung kepada pemaksaan penyiaran di stasiun-stasiun RRI di berbagai ibukota provinsi.

Semenjak alokasi frekuensi ditentukan oleh sebuah badan negara, tak dapat dilupakan bahwa pertarungan tersebut berada dalam kerangka struktur legal kenegaraan. Dalam sebuah negeri yang orientasi kekuasaannya membela kepemilikkan pribadi atas aset-aset terbatas yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dipastikan bahwa suara kelas-kelas tertindas tidak akan memiliki kesempatan untuk didengar bahkan oleh kelas-kelas itu sendiri.

Tetapi Venezuela adalah negeri yang berbeda. Meskipun dibatasi oleh penentangan-penentangan kelas-kelas penguasa modal, negara Venezuela memiliki komitmen untuk memperjuangkan kepentingan kelas-kelas yang ditindas oleh rejim sebelum Chavez: kaum tani, kaum buruh dan miskin kota yang sebagian besar adalah berasal dari ras non kulit putih. "Merelakan" satu stasiun televisi swasta yang dikenal dengan sensasionalisme, gaya hidup telenovela, dan menyuarakan rasisme tersembunyi tampaknya lebih cocok dipandang sebagai langkah menyeimbangkan pertarungan politik (antar kelas) on air dibandingkan sebagai upaya membungkam kelompok-kelompok oposisi. Lagipula, RCTV masih bebas bersiaran di jaringan TV kabel, yang juga merupakan media pilihan keluarga-keluarga kelas menengah di berbagai negeri dunia ketiga.

Kebebasan (Meng-)Informasi

Mereka yang memprotes "pembredelan" RCTV, seperti Dr Rainer Adam dan blog www.kedai-kebebasan.org, menutupi sebuah fakta bahwa kebebasan informasi juga berarti kebebasan berekspresi. Artinya setiap orang, selain bebas memperoleh informasi, juga berhak memberikan informasi. Jika semua kanal siaran televisi dikuasai oleh korporasi-korporasi besar dan stasiun-stasiun televisi negara hanya menyuarakan kepentingan rejim yang berkuasa, di manakah kesempatan untuk rakyat biasa, yang kini mulai menyerap sedikit demi sedikit teknologi penyiaran karena produksi massal? Harga sebuah kamera video digital tidaklah semahal sebuah kamera televisi pada dua puluh tahun yang lalu (tentunya dihitung dengan paritas daya beli, PPP).

Dalam konteks negara maju, mungkin persoalan ini tidak terlalu masalah dengan adanya konsep Web 2.0 di mana setiap orang bisa mengekspresikan dirinya di dalam website, blog, youtube, dan seterusnya. Namun dalam konteks negara berkembang, yang sebagian besar rakyatnya belum memiliki jalur internet untuk berekspresi, kanal-kanal publik televisi dan radio adalah jawabannya. Dan kehendak ini begitu besar, dengan derasnya alienasi dalam lingkungan kerja oleh kapitalisme, sehingga menjadi satu pasar tersendiri: menjamurnya reality show, acara yang sangat memanipulasi keinginan orang atas popularitas. Apakah para "pembela kebebasan informasi" tersebut lebih memilih acara-acara reality show tersebut daripada beberapa kanal publik yang membuka kesempatan untuk produser-produser acara independen dan merakyat? Kebebasan meng-informasi untuk pengusaha rasis-seksis yes!, untuk film-film buatan rakyat jelata no!, itukah slogan sesungguhnya para pembela kebebasan informasi?

Merebut Televisi

Pertarungan kelas dalam memperebutkan kanal siaran publik di Venezuela membawa kita ke sebuah pelajaran yang lain. Gerakan Kiri Indonesia seperti selalu bergerak di pinggiran pertarungan. Slogan-slogan revolusioner dicoretkan di tembok-tembok di pinggir-pinggir jalan protokol yang setiap saat bisa ditutupi cat oleh rejim ataupun pemilik rumah yang sebal. Selebaran-selebaran yang berfungsi hanya sehari, dan koran-koran organisasi yang menjangkau hanya 5000 orang saja. Ketika ingin berbicara dengan massa rakyat yang jumlahnya ratusan juta, perlu bersusah payah mengumpulkan puluhan ribu orang untuk mendapatkan liputan sekian menit di televisi nasional, syukur-syukur bisa diundang dalam talkshow televisi atau radio. Efek komunikasinya, raib dalam satu dua hari - kecuali memang suasana politiknya sudah benar-benar matang.

Sebelum 1998, pemutar DVD dan VCD belum menjamur seperti sekarang, kamera handycam masih begitu merepotkan dan mahal untuk menggandakan hasilnya, dan pertukaran informasi tertulis baik elektronik maupun tercetak masih dibatasi oleh sensor rejim. Namun sekarang? Sembilan tahun yang penuh percepatan di media.

"Don't watch television, make it!"

Kalimat ini betul-betul luar biasa. Anda bisa bayangkan kalau kelompok-kelompok tani bercerita mengenai kemauan mereka di televisi menurut versi mereka sendiri? Atau daripada menonton sinetron yang gambarnya cuma mimpi-mimpi menjadi orang kaya, orang menonton cerita-cerita rakyat dan revolusi di belahan dunia lain? Atau film dokumenter tentang sejarah perlawanan rakyat? Atau juga parodi para politisi dari berbagai wilayah Indonesia?2

Namun langkah menuju membuat televisi mungkin masih agak jauh. Gerakan kiri harus mempersiapkan pengambilalihan televisi dengan memikirkan dan membangun media alternatif seperti podcast, film komunitas yang disebarkan dalam bentuk VCD atau DVD, siaran-siaran radio melalui internet, dan seterusnya.

The Revolution, brother Gil, will not only be televised.

Catatan kaki:
1 Bart JONES, "Hugo Chavez versus RCTV", website Los Angeles Times

2 Pemerintah di Eropa pada abad 19 sangat takut dengan pertunjukkan boneka semacam guignol perancis, karena membuat orang mentertawakan kerajaan dan menggulingkannya.
Baca Selengkapnya!!

Marta Harnecker: Eksperimen Kuasa Kerakyatan di Venezuela

Marta Harnecker, kelahiran Chile, adalah penulis buku "Memahami Revolusi Venezuela" (Monthly Review Press, 2005), dan buku-buku lain mengenai revolusi dan Amerika Latin. Ia adalah peserta aktif dalam revolusi Bolivarian di Venezuela dan seorang penasehat presiden sosialis negeri itu, Hugo Chavez.

Harnecker terlibat dalam pembentukan dan pengembangan badan-badan Dewan Komunal di Venezuela, yang dimaksudkan sebagai kendaraan bagi kuasa kerakyatan (popular power) dan partisipasi publik untuk menciptakan sosialisme di abad ke-21. Untuk mengetahui apa dan bagaimana kuasa kerakyatan itu dibentuk dan bekerja, Coral Wynter & Jim McIlroy dari Green Left Weekly, bertempat di Caracas, Venezuela, mewawancarai Marta Harnecker pada akhir Oktober. Berikut petikan wawancaranya:

Green Left Weekly (GLW): : Bagaimana Dewan-dewan Komunal itu dibentuk dan bagaimana perkembangannya?

Marta Harnecker (MH): Apa yang saya lakukan selama setahun terakhir adalah mencari pengalaman yang menarik, dan mencari orang yang dapat bertukar pengalaman. Di Cumana, (Venezuela timur laut), saya menemukan organisasi yang sudah ada bertahun-tahun, sebelum Dewan-dewan Komunal dibentuk. Organisasi itu dibentuk dalam lingkup yang sangat kecil, lebih kecil dari sebuah barrio (rukun tetangga), dengan sekitar 200-400 keluarga. Di beberapa daerah pedesaan, bahkan lebih sedikit lagi, sekitar 100 keluarga. Organisasi itu dibentuk di mana orang saling mengenal dan anda tidak memerlukan transportasi untuk menghadiri pertemuan. Sungguh mudah untuk bertemu. Ini adalah ruang yang memungkinkan semua orang terlibat.

Tentu saja orang yang berpikir tentangnya, menemukan bahwa ruang kecil semacam itu memungkinkan orang yang biasanya tidak punya kemampuan untuk mengungkap diri, sekarang justru menyampaikan pandangan mereka dan membuat keputusan. Seperti dikatakan Freddy Bernal (walikota Libertador di Caracas tengah), Dewan Komunal itu adalah sel dasar dari masyarakat masa depan.

Kalau kita berhasil membangun komunitas yang berorientasi pada solidaritas, maka orang akan peduli pada rakyat miskin yang hidup di wilayah mereka. Dalam (kerangka) solidaritas inilah, mereka akan mencari jalan keluar bagi sektor tersebut.

Chavez mencari berbagai rumusan berbeda untuk organisasi kerakyatan. Lingkaran Bolivarian itu lebih dalam kerangka politik yang luas. Lingkaran itu terarah pada kekuasaan politik. Dewan Komunal sementara itu, mencakup mereka yang bersama Chavez dan mereka yang tidak. Mereka adalah komunitas: Dewan-dewan Komunal harus mencerminkan semua warna dari pelangi; mereka harus mencakup semua orang yang ingin bekerja untuk komunitas, tanpa afiliasi politik, tanpa hubungan dengan pemerintah.

Melalui proyek ini, ketika seseorang mulai bekerja untuk komunitas, maka orang mulai mengedepankan solidaritas, dan dengan begitu orang tersebut akan mengalami transformasi. Saya kira, ini akan menggantikan Chavismo. Kadang orang berpikir, terlibat dalam politik berarti membawa plakat, spanduk dan (topi serta kaos) merah. Orang dalam periode sekarang di dunia yang kita huni ini, berpikir bahwa politik itu terbatas pada praktek politik formal.

Jika anda mengorganisir di barrio, organisasinya akan jauh lebih kecil skalanya. Anda akan memerlukan orang yang fleksibel, tidak sektarian dan punya kapasitas bekerja dengan siapa saja, melaksanakan proyek-proyek, dan coba memecahkan masalah yang dihadapi rakyat.

Dalam sebuah artikel yang saya tulis mengenai 4 juta pemilih dalam referendum untuk menyingkirkan Chavez, saya mengatakan, 3 juta di antaranya tidak benar-benar memilih menentang proyek Chavez. Mereka hanya memilih menentang proyek Chavez, seperti yang disampaikan oleh oposisi. Hanya sekitar 1 juta orang yang memilih menentang Chavez, benar-benar yakin dan tahu apa yang mereka lakukan. 3 juta orang lainnya dipengaruhi oleh media oposisi, yang mengatakan bahwa proyek Chavez adalah proyek komunisme, otoriterianisme, kediktatoran.

Ketika orang terlibat dalam kerja praktis, mereka mulai bisa melihat bahwa Chavez adalah orang yang terbuka dan langsung, dan bahwa proyek presiden bukanlah seperti yang mereka kira semula. Dalam kaitannya dengan pemilihan, masalahnya adalah bahwa banyak orang yang dapat informasi penuh. Ada banyak orang yang anti-Chavista tapi, sebenarnya mendapat informasi yang salah dari media oposisi di negeri ini. Media tidak menghargai hak-hak dasar dari rakyat untuk mendapat informasi secara benar.

Orang dari kelas menengah adalah yang paling rentan terhadap kerja media ini. Media memanipulasi keadaan dengan mulai menyampaikan kebenaran-kebenaran kecil, dan berbagai kegagalan kecil, yang kemudian mereka lebih-lebihkan.

GLW: : Apa peran yang dimainkan gerakan buruh dalam kaitannya dengan pengorganisasian komunitas?

MH: Logisnya, kita menerima secara umum bahwa pengalaman kuasa kerakyatan, yang berdasar pada lingkup teritorial, berarti bahwa buruh tidak muncul (langsung) sebagai anggota yang aktif. Saya ingat sebuah diskusi yang sangat menarik di Kuba, ketika mereka sedang merencanakan kuasa kerakyatan melalui pendaftaran pemilih. Dengan sendirinya, seorang warga yang mengusulkan nama calon di daerahnya, akan memilih orang yang dapat memecahkan masalah-masalah paling praktis dalam komunitas. Ini artinya sulit, sampai sekarang, bagi buruh untuk terlibat secara langsung.

Karena hal ini, di Kuba, diusulkan agar ada dua forum untuk memilih calon, satu berdasar wilayah atau teritorial, dan satunya berdasar tempat kerja, dua cara untuk mengambil keputusan. Di Venezuela, sampai saat ini, belum ada persatuan buruh dalam revolusi. Gerakan serikat buruh belum cukup kuat pada tahap ini.

Saya pernah berkata pada serikat-serikat buruh, "kenapa kalian tidak memperkuat saja dewan komunal dan menyatu dengan mereka? Kalian, sebagai buruh, harus terlibat dalam komunitas." Tapi sampai saat ini, mereka belum melakukannya.

Kita sebaiknya berpikir tentang dewan-dewan komunal ini sebagai komunitas buruh dari buruh (dan juga warga). Bagi saya, adalah sangat penting untuk mempertimbangkan masalah ekonomi mikro dan perlunya menyertakan organisasi-organisasi ekonomi sehingga dapat didemokratisasi ke arah solidaritas bukan korporatisme. Harus ada hubungan erat antara organisasi kerja dan komunitas.

GLW: : Anda bisa gambarkan cara kerjanya Dewan Komunal ini?

MH: Saat ini ada 16.000 Dewan Komunal, yang dibentuk dalam waktu enam bulan (sejak program tersebut dimulai tahun ini). Ini adalah inisiatif yang sangat serius, menurut saya. Proses pembentukan Dewan Komunal memerlukan waktu beberapa bulan, agar orang menjadi matang dan memilih pemimpinnya yang sejati. Kita mulai dengan proses melibatkan motivator. Komite motivator ini yang kemudian mendatangi dari rumah ke rumah untuk membuat sensus. Ini adalah tugas yang paling dasar, sensus sosioekonomi. Untuk melakukan ini, komite harus mengunjungi semua rumah tangga di wilayah tersebut.

Nampaknya di sini diperlukan pemimpin yang serius dan rajin, yang dapat berkunjung dari rumah ke rumah. Karena itu, kami berpikir, tidak mungkin memilih jurubicara untuk Dewan Komunal tanpa melalui proses ini. Mereka harus membentuk majelis terlebih dulu, baru melakukan pemilihan.

Perlu ada sebuah tim, semacam komisi promosi, yang harus melakukan penulisan sejarah sosial dan geografis, atau kisah dari komunitas yang bersangkutan. (Untuk menghasilkan ini), diperlukan sekurangnya delapan bulan. Saat majelis bertemu, mereka akan memilih jurubicara mereka di masa mendatang. Lalu proses tersebut disahkan (secara hukum). Sebagian Dewan Komunal berjalan baik, sebagian lain tidak.

Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Ini adalah cara demokratik untuk merenovasi kepemimpinan, dan memungkinkan majelis memilih pemimpin baru. Saya kira hukum menghargai kehendak dari majelis. Saya turut serta dalam kelompok yang mengawasi pembentukan Dewan Komunal. Dalam aturan hukumnya sangat jelas: Di mana kekuasaan itu? Kekuasaan tidak terletak di tangan para jurubicara tapi di tangan majelis umum. Kenapa mereka disebut "voceros?" Karena mereka adalah suara dari komunitas. Jika mereka kehilangan posisi sebagai jurubicara, maka mereka kehilangan kuasa.

Saya kira ini cara eksperimiental untuk menghimpun kuasa kerakyatan. Tapi, bagi saya, arah di masa mendatanglah yang harus kita ambil. Ini ada gagasan dasarnya: tidak dari atas.

Ini juga bergantung pada jenis masalahnya. Ada masalah-masalah yang memerlukan keterlibatan berbagai Dewan Komunal, karena merupakan masalah dari seluruh barrio. Misalnya, pipa-pipa air yang melalui seluruh barrio. Hal ini harus dipecahkan di tingkat Dewan Barrio. Masalah tangga, penerangan, dan sampah dapat dipecahkan di tingkat Dewan Komunal. Jadi Dewan Komunal ini adalah basis, sangat demokratis; sebuah skema partisipasi.

Mereka mencari jalan untuk memprioritaskan hal-hal yang dapat diselesaikan oleh komunitas: tapi bukan untuk menciptakan pemukiman pengemis yang melihat masalah, lalu minta negara untuk memecahkannya.

Ini adalah metode-metode yang memungkinkan komunitas untuk menyelesaikan masalah. Kita melakukan penilaian lalu membuat prioritas masalah: apa yang dapat dipecahkan komunitas dan apa yang tidak. Suara-suara dari komunitas yang berbeda harus membahas masalah-masalah ini di tingkat lebih tinggi.

Inilah cara bagaimana solidaritas dimulai, karena kita mulai dengan melihat bahwa masalah kita lebih luas dari kenyataan sempit yang kita hadapi, dan bahwa kita harus membantu sesama. Karena itu, Dewan Komunal lebih merupakan sekolah bagi formasi politik. Saya kira kuasa kerakyatan, jika sungguh demokratik, adalah sekolah terbaik karena memproduksi proses itu. Dan ini karena anda berjuang untuk rumah dan tanah anda. Lalu, anda mulai menyadari bahwa rumah anda ada dalam sebuah barrio dan bahwa barrio itu ada dalam kota.

GLW: : Apa perbedaan-perbedaan antara pangalaman Kuba, dan revolusi Bolivarian Venezula, dari segi misi dan seterusnya?

MH: Saya kira bahwa revolusi ini dlancarkan dengan jalan damai, tapi presiden tidak dilucuti. Dalam kasus Chile (pemerintahan sayap kiri Allende pada awal 1970-an), yang diambil juga jalan damai tapi, tidak bersenjata. Mereka tidak mendapat dukungan militer. Venezuela menjadi sangat kuat karena bersenjata, dengan dukungan dari Angkatan Bersenjata Nasional. Bagaimanapun, ini adalah proses dimana korelasi kekuatan berarti bahwa presiden tidak dapat mendesakkan sebuah proyek di negeri ini begitu saja. Proses Venezuela mengharuskan pemerintah mencapai harmoni.

Proyek ini mendapat sokongan dari sebagian besar sektor masyarakat. Akibatnya, hal ini memaksa transformasi berjalan lebih lamban. Aparatus negara berarti bahwa anda punya 80 persen atau lebih orang yang mendapat pekerjaan dalam pemerintah melalui clientelisme, yang tidak berminat pada pekerjaan mereka. Ini adalah layanan publik, tapi layanan yang tidak berfungsi. Kebanyakan pelayan publik ini bukanlah pelayan publik, mereka bekerja melawan publik.

(Venezuela) adalah negeri 'rentier' yang tidak punya tingkat perkembangan industri yang tinggi. Kebanyakan buruh ada di sektor informal. Di Kuba, revolusi melaksanakan proyek-proyek sosialis hampir langsung setelah menang. Sedangkan di sini, rangkaian pertempurannya masih terutama bersifat ideologis.

Karena itu, arah dari kuasa kerakyatan ini menjadi penting, karena proyek itu memerlukan waktu untuk menjadi matang. Di jalur damai, jalannya akan lebih pelan dari transformasi negara yang tajam sifatnya.

GLW: : Apa anda bisa memberi komentar mengenai proyek sosialisme di abad ke-21 dari Chavez?

MH: Sejujurnya, ada banyak orang yang mengritik kami. Eduardo Galeano, penulis Uruguay itu, mengatakan, ketika sosialisme gagal di Uni Soviet, Barat mengatakan bahwa sosialisme sudah mati dan begitu pula Marxisme. Galeano mengatakan, sosialisme yang mati itu bukan sosialisme kita, karena proyek sosialis yang kami bela ini pada dasarnya humanis, demokratik, dan berdasar pada solidaritas. Sosialisme yang mati itu adalah sosialisme birokratik, yang tidak dibela oleh rakyat, karena tidak ada keterlibatan nyata rakyat di dalamnya.

Saya kira, Chavez menyadari hal ini. Chavez tahu bahwa kita hanya dapat menciptakan masyarakat sosialis masa depan, jika rakya yang paling sederhana, yang paling miskin, yang paling tertindas, bisa terlibat dalam proses tersebut. Hal yang hebat dari Chavez bahwa ia adalah pemimpin yang mempromosikan organisasi kerakyatan, orang yang yakin bahwa kekuatan dalam proses ini adalah organisasi. Chavez selalu menyerukan, pembentukan lebih banyak organisasi dan penciptaan organisasi baru. Kadang, terlalu banyak. Ini adalah kreativitas yang memberi kesempatan semua orang untuk mengorganisasi diri.

Sumber:
International News, Green Left Weekly issue #693 6 December 2006. Sumber: http://www.greenleft.org.au/2006/693/35989.

(Diterjemahkan oleh Hilmar Farid, untuk IndoProgress, dari judul asli, Marta Harnecker: Venezuela’s experiment in popular power, 30 November 2006).
Baca Selengkapnya!!

Followers

Cianjur Berlawan © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO