Jumat, 20 Februari 2009

Kriteria Miskin Versi BPS itu Pro-Imperialisme

Wawancara Dika Nusantara (SRMI) dengan Ulfa Ilyas (Berdikari Online)
Kamis, 19 Februari 2009

Berdikari Online, Jakarta: Seperti diketahui, Presiden SBY dalam pidatonya di depan DPR 15 Agustus 2008 mengungkapkan, angka kemiskinan pada Februari turun dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada Maret 2008. Pernyataan presiden Yudhoyono mendapat perlawanan bukan saja oleh para ekonom kritis, tetapi juga organisasi-organisasi pergerakan rakyat yang sehari-hari berhadapan dengan kemiskinan, salah satunya, SRMI. Pada bulan September, SRMI resmi mengajukan gugatan hukum yang ditujukan kepada BPS, karena dituduh telah memanipulasi angka kemiskinan.

Redaksi Berdikari online telah mewancarai Dika Muhammad Nusantara, salah satu pengurus DPN Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) terkait keputusan PN Jakarta Pusat yang telah menolak gugatan hukum SRMI mengenai kriteria miskin BPS. Berikut petikan wawancaranya:

Ulfa Ilyas (BO):
Seperti diketahui dalam Putusan hakim di pengadilan negeri Jakarta pusat tadi siang, bahwa gugatan yang diajukan SRMI di nyatakan di tolak. Bagaimana Pendapat anda atas putusan pengadilan tersebut?

Dika MN (SRMI) :
Menanggapi tentang masalah putusan hakim pengadilan tersebut, maka kami bersama teman-teman tadi sepakat untuk mengajukan gugatan Banding pada majelis Hakim pengadilan negeri Jakarta pusat .

Ulfa Ilyas (BO) :
Apakah anda melihat ada intervensi politik dalam keputusan tersebut?

Dika MN (SRMI) :
sejak awal, kami melihat bahwa pemerintahan SBY mengintervensi proses peradilan ini. pihak hakim tidak berdiri pada posisi yang netral, melainkan cenderung mengakomodir permintaan pihak tergugat. Sebagai misal, jadwal persidangan selalu di tunda dan waktunya selalu molor. Pihak pengadilan ingin membuat kami jenuh dan akhirnya menyerah dalam proses ini, tetapi kawan-kawan tidak sedikitpun merasa mau menyerah, apalagi mundur.

Dan yang kedua, ketika mencoba mengajukan saksi ahli, pihak pengadilan lansung menolaknya. Kemudian, kesempatan kedua bagi permintaan saksi kami juga ditolak. Akan tetapi, pihak pengadilan malah membebaskan pihak tergugat (BPS) untuk mengajukan sebanyak-banyak saksi-saksi mereka, termasuk menghadirkan sejumlah saksi ahli. Kami hanya bisa mengajukan tiga saksi fakta, tetapi pihak BPS tidak pernah dibatasi.

Dalam pembuatan putusan, terlihat bahwa para hakim hanya melihat pada satu persepsi, yaitu versi BPS. Cara pandang yang dipergunakan oleh hakim untuk menilai kriteria kemiskinan BPS juga sangat sempit, hanya versi BPS semata, tidak membuka perspektif perdebatan kemiskinan yang banyak digunakan oleh negara lain, termasuk negara maju.

Ulfa Ilyas (BO) :
Berdasarkan pandangan hakim, BPS dan Tim ahli, bahwa indicator/ kriteria kemiskinan yang mereka gunakan adalah sudah benar, bagaimana dengan tanggapan anda?

Dika MN (SRMI) :
Iya , jelas karena majelis hakim tidak berpihak pada orang-orang miskin keadilan di negeri ini, dan mereka tentu akan menolak gugatan kami. Defenisi kemiskinan yang dipergunakan BPS masih berdasarkan pendekatan kemiskinan konsumsi, padahal pendekatan ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Bank Dunia sendiri sudah mulai memperluas indicator kemiskinan mereka, dengan menambahkan faktor-faktor non konsumsi seperti tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.

14 indikator yang dipergunakan BPS juga benar-benar tidak manusiawi. Sebagai misal, seorang dikategorikan miskin ketika masih menggunakan lantai tanah. Menurut kami, ini kan indicator yang mengada-ngada dan terlampau berlebihan; mana ada sekarang rumah yang menggunakan lantai tanah di perkotaan, dan di pedalaman pun banyak rumah yang berbentuk rumah panggung. Contoh lain misalnya penggunaan kayu bakar; akibat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, banyak rakyat yang beralih menggunakan kayu bakar karena tidak sanggup lagi membeli minyak tanah atau gas. Jadi, jika pemerintah menyebut orang miskin itu karena menggunakan kayu bakar, itukan persepsi yang benar-benar tidak manusiawi.

Jadi dengan contoh kecil itu saja, kami berkesimpulan bahwa pendapat BPS, yang diikuti juga oleh para hakim, sebagai pendapat yang salah, keliru.

Ulfa Ilyas (BO) :
Ada pendapat mengatakan bahwa Kemiskinan adalah produk Sistem Neoliberalisme. Apakah ada indikasi bahwa putusan pengadilan sejalan dengan politik Neoliberal?

Dika MN (SRMI) :
Yah memang sudah pasti seperti itu. Jadi logikanya seperti ini, kalau gugatan kami dimenangkan/ dikabulkan, berarti secara otomatis orang-orang yang selama ini disebut tidak miskin oleh pemerintah mau tidak mau harus diakui sebagai miskin, dan tentu mereka berhak mendapatkan layanan sosial atau jaminan sosial. Bagi pemerintah, makin banyak orang yang disubsidi, tentu saja akan semakin membengkakkan anggaran pemerintah.

Pemerintah harus mengikuti petunjuk neoliberalism untuk menerapkan disiplin fiscal dan anggaran. Ini berarti, anggaran yang berbentuk subsidi kepada rakyat harus dipangkas, kemudian dialirkan kepada kantong-kantong imperialis melalui pembayaran utang.

Selain itu, perlu diketahui bahwa kemiskinan di Indonesia dihasilkan oleh praktik neoliberalisme. Artinya, perlu sebuah manipulasi data kemiskinan agar seolah-olah neoliberalisme benar-benar tidak memiskin rakyat, melainkan sebaliknya.

Ulfa Ilyas (BO) :
Ajang pemilu semakin mendekat. Partai-partai sudah berlomba-lomba melakukan kampanye untuk merebut hati rakyat. Segala macam cara dipergunakan, asalkan keliatan bagus di depan rakyat. Apa ada dugaan anda bahwa keputusan pengadilan berkaitan dengan politik pencitraan SBY?

Dika MN (SRMI) :
Jelas, angka kemiskinan kini dipergunakan oleh pemerintah untuk menjaga dan memperbaiki popularitas politiknya. Dalam kampanye partai Demokrat, partainya SBY, dikatakan bahwa pemerintah sekarang berhasil menurunkan angka kemiskinan. Ini adalah kampanye bohong, karena apa yang dikatakan, tentu saja, sangat berbeda dengan kenyataan dan fakta di lapangan.

Jadi, meskipun pemerintah tiga kali menurunkan harga BBM, yang berkonsekuensi meluasnya PHK massal, kenaikan harga-harga sembako, kenaikan tariff, dan sebagainya, tetapi pemerintah tetap menyatakan berhasil menurunkan angka kemiskinan. Inikan penjelasan yang tidak masuk akal. Kemudian, meskipun BBM telah diturunkan tiga kali namun harga sembako dan kebutuhan hidup tetap merangkak naik.

Kebijakan menurunkan BBM sebenarnya bukan prestasi SBY, tetapi itu karena memang faktor kejatuhan harga minyak dunia. Dan sebenarnua, di Malaysia, pemerintahnya malah sudah menurunkan harga BBM enam kali. Anehnya, SBY mencoba memanfaatkan isu kemiskinan, dengan mengatakan angka kemiskinan berkurang di masa kekuasaannya, untuk mendapatkan dukungan politik rakyat pada pemilu mendatang. Jelas, gugatan hukum SRMI kepada BPS bertujuan untuk membongkar kebohongan ini.

Ulfa Ilyas (BO) :
Bagaimana harapan anda terhadap Rakyat miskin mengenai Pemilu 2009, agar tidak lagi melahirkan pemerintahan yang memanipulasi kemiskinan?

Dika MN (SRMI) :
Kami sudah berkesimpulan bahwa pemilu bulan April 2009 nanti bukan hanya sekedar memilih atau mendukung parpol atau caleg-caleg, tetapi juga sangat menentukan masa depan bangsa ini; apakah bangsa ini tetap seperti yang masa lalu, yaitu BBM naik, penggusuran dimana-mana, kesehatan mahal, pengobatan mahal; ataukah orang miskin maju untuk merubah keadaan ini menjadi lebih sejahtera dan mendirikan bangsa yang mandiri . SRMI menyerukan kepada masyarakat agar melawan politik uang. Caranya, rakyat harus berani menolak segala bentuk sogokan, bagi-bagi duit oleh para caleg, dan bagi-bagi sembako. selain itu, rakyat juga perlu melihat sepak terjang para caleg dan partainya di parlemen sebelumnya; jika mereka terbukti membiarkan penggusuran, mengesahkan UU yang pro neoliberal dan menghisap rakyat ( UU ketenaga kerjaan, UU migas, UU penanaman modal, dsb), serta kebijakan-kebijakan lain yang merugikan rakyat, maka jangan dipilih.
Selain itu, kami juga menyerukan kepada rakyat agar memilih caleg dan partai yang benar-benar pro rakyat dan anti-neoliberal. Mereka yang menyepakati program kemandirian nasional. sudah saatnya rakyat melihat kepada program para caleg dan partai, serta mempertanyakan bagaimana cara mewujudkannya.

kami beritahukan, bahwa ada ratusan aktifis kerakyatan yang maju pada pemilu ini. mereka berasal dari berbagai latar belakang organisasi-organisasi kerakyatan, seperti serikat buruh, organisasi petani, organisasi miskin kota, dan mahasiswa. Mereka maju dalam arena pemilihan karena berharap mampu melakukan perubahan politik secara mendasar, terutama bagaimana menyingkirkan politik neoliberalisme dan menggantikannya dengan politik kerakyatan; anggaran untuk rakyat, perundangan yang melindungi rakyat, dan sebagainya.

Ulfa Ilyas (BO):
Apa upaya selanjutnya yang akan dilakukan SRMI untuk membongkar manipulasi data Kemiskinan SBY?

Dika MN (SRMI) :
Iya, SRMI barus saja mempraktekkan model gugatan Citizen Lawsuit, dimana kami menggugat kepala negara dan BPS agar meralat kriteria dan jumlah orang miskin. Selanjutnya, kami dan sektor-sektor sosial yang lainnya akan terus mengkampanyekan bahwa angka kemiskinan versi pemerintahan SBY adalah bohong, manipulatif. Kami juga akan terus menggelar aksi protes baik di instansi BPS maupun istana negara. Kita juga akan mengedarkan press release mengenai hal ini. selain itu, melalui rapat-rapat ditingkatan kampong, yang secara regular dilakukan SRMI, kami akan menyampaikan mengenai tipuan angka kemiskinan yang dilakukan SBY.

Pewancara: ULFA ILYAS

Seja o primeiro a comentar

Followers

Cianjur Berlawan © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO